Senin, 25 Februari 2008

PROBLEMATIKA PESANTREN (Sebagai Problem Pendidikan Kaum Pinggiran 1)

PengantarAlvin Toffler salah seorang ahli futurulogi dari negeri Paman Sam mengungkapkan bahwa masyarakat kini tengah memasuki bagian dari gelombang ketiga (the third wave), di mana setiap teknologi dapat mempengaruhi apa yang disebut dengan teknosfer, infosfer, sosiosfer dan psikosfer. Pada tataran teknosfer segala bentuk aktifitas manusia (masyarakat) sangat tergantung pada tehnologi elektronik (technotronic). Pada tingkatan infosfer, era informasi tidak lagi terikat pada lingkungan lokal ataupun nasional, tetapi bersifat global. Pada tataran sosiosfer, media elektronik di era informasi merupakan agen-agen sosial yang utama menggantikan peran orang tua, guru, pendeta, kyai dsb. Dan pada tingkatan psikosfer, era reformasi akan meninggalkan manusia yang bersifat magis, irrasional yang berorientasi pada masa lalu termasuk manusia positivistik rasional dan sebagai gantinya muncul manusia bijak yang terbuka dan berorientasi ke masa depan, supra religius dan naturalistik.Pandangan Alvin di atas, bila dicermati secara seksama rupa-rupanya mendekati kebenaran, hal itu dapat dibuktikan dengan melihat sejumlah realitas yang terjadi pada masyarakat. Mungkin sampel yang paling tepat adalah apa yang terjadi pada pesantren (sebagai mainstrem sesi ini). Disadari atau tidak, pesantren sebagai lembaga sosial keagamaan telah mengalami perubahan atau transformasi budaya yang mendasar (dan bahkan terjadi cultural shock pada masyarakat pesantren) sebagai akibat dari perkembangan dan kemajuan ilmu dan teknologi khususnya teknologi informasi dan teknologi komunikasi.Dalam konteks ini, pesantren memang berada pada posisi yang sulit, di satu sisi, ia dihadapkan pada kemajuan iptek yang semakin tidak terkendali, sementara di sisi lain, ia dituntut untuk menyelesaikan problem internal yang tak kunjung terpecahkan seperti problem demokratisasi (pendidikan) pesantren, emansipasi wanita (gender), problem sumber daya manusia (human resources) dan lain sebagainya.Problem-problem tersebut mengindikasikan bahwa pesantren harus terbuka dalam arti tidak menutup diri dari arus gelombang transformasi baik yang datang dari luar (eksternal) maupun yang datang dari dalam diri pesantren sendiri (internal), dengan demikian, pesantren dihadapkan pada posisi tengah yang terjadi tarik menarik antara sesuatu yang absolut, statis dan kolot (konservatif) dengan sesuatu yang selalu mengalami perubahan (transformatif) dan dinamis, antara dinul Islam yang bersumber dari Tuhan dengan budaya yang bersumber dari makhluk.Sementara itu, tantangan yang dihadapinya semakin hari semakin berkembang dan kompleks sebagai konsekwensi dari bertambah majunya ilmu pengetahuan dan teknologi(iptek) dan kebutuhan serta kepekaan masyarakat, demikian halnya pergantian era industri ke era reformasi dan demokrasi menambah pekerjaan baru yang harus segera diantisipasi.Ironisnya, menghadapi persoalan di atas, banyak dari kalangan pesantren (khususnya pesantren salaf) lebih menganggap sebagai suatu persoalan yang berdampak negatif (mengandung maksiat) dari pada dampak positif sehingga sebagai akibat dari sikap semacam ini sebagian pesantren bukan hanya termaginalkan, akan tetapi juga telah kehilangan pamor (kharisma) yang pada gilirannya akan ditinggalkan oleh masyarakatnya sendiri sehingga tidak menutup kemungkinan pesantren tersebut akan gulung tikar alias tutup.

Tidak ada komentar: