Sabtu, 07 Juni 2008

MODEL KEPEMIMPINAN KYAI DALAM MENGEMBANGKAN PENDIDIKAN PESANTREN

Pengantar
Kepemimpinan kyai dalam pesantren merupakan salah satu unsur kunci yang berpengaruh terhadap keberhasilan dalam mencapai tujuan pensantren. Kepemimpinan sebagaimana difahami tidak lain adalah kesiapan mental yang diwujudkan dalam bentuk kemampuan seseorang untuk memberikan bimbingan, mengarahkan dan mengatur serta menguasai orang lain agar mereka mau melakukan sesuatu urusan yang terkait dengan suatu tujuan yang diinginkan oleh lembaga pendidikan pesantren. Kesiapan dan kemampuan kepada pemimpin tersebut memainkan peranan sebagai juru tafsir atau pemberi penjelasan tentang kepentingan, minat, kemauan, cita-cita atau tujuan yang diinginkan untuk dicapai oleh sekelompok individu (Siswadi, 2003:251).
Menurut Mastuhu (1999:105) kepemimpinan kyai dalam pesantren dimaknai sebagai seni memanfaatkan seluruh daya pesantren untuk mencapai tujuan pesantren tersebut. Manifestasi yang paling menonjol dalam seni memanfaatkan daya tersebut adalah cara menggerakkan dan mengarahkan unsur pelaku pesantren untuk berbuat sesuai dengan kehendak pemimpin pesantren dalam rangka mencapai tujuan.
Merujuk pada pandangan tentang kepemimpinan kyai di atas adalah suatu hal yang menarik untuk didiskusikan secara formal, kenapa? Karena kyai merupakan pribadi yang unik seunik pribadi manusia, ia mempunyai karakteristik tertentu (yang khas) dalam memimpin yang berbeda jauh dengan kepemimpinan di luar pesantren, ia bagaikan seorang raja yang mempunyai hak otonom atas kerajaan yang dipimpinnya. Uniknya lagi, pesantren yang dipimpin oleh kyai sampai saat ini masih tetap survive dalam konteks memberikan pelayanan pendidikan dan pengabdian kepada masyarakat serta syi’ar atau dakwa agama (Islam).
Oleh karenanya, kyai tidak hanya dipandang sebagai tokoh agama (Islam) tetapi juga sebagai seorang pemimpin masyarakat, bahkan kekuasaannya seringkali melebihi kekuasaan pemimpin formal khususnya di pedesaan. Ia juga mempunyai pengaruh yang melampaui batas-batas geografis pedesaan berdasarkan legitimasi masyarakat untuk memimpin upacara-upacara keagamaan, adat dan menginterpretasi doktrin-doktrin agama. Selain itu, seorang kyai dipandang memiliki kekuatan-kekuatan spiritual yang bersifat transcendental karena kedekatannya dengan sang pencipta.
Kedudukan dan perannya yang sangat strategis tersebut, menjadikan seorang kyai tidak hanya tinggal diam di pesantren yang ia pimpin, tetapi juga hidup di tengah-tengah masyarakat luas. Ia memiliki jaringan komunikasi yang sangat luas dengan berbagai lapisan masyarakat melalui organisasi-organisasi keagamaan, kemasyarakatan, politik, pemerintahan dan lain sebagainya.
Horikoshi (1987) dalam bukunya Kyai dan Perubahan Sosial menyebutkan bahwa kyai memiliki sedikitnya tiga peran yaitu: (1) sebagai pemangku masjid dan madrasah, (2) sebagai pengajar dan pendidik, dan (3) sebagai ahli dan penguasa dalam hukum Islam. Dengan mengajar dan mendidik, seorang kyai dapat memelihara keyakinan dan nilai-nilai kulural, bahkan tidak jarang kyai menjadi personifikasi dari nilai-nilai itu sendiri. Sebagai ahli dan penguasa hukum Islam, kyai mendapat tugas untuk memelihara dan menafsirkan hukum Islam. Menghadapi permasalahan yang muncul di tengah-tengah masyarakat, kyai biasanya memecahkan persoalan tersebut dengan merujuk pada kitab-kitab Islam klasik atau yang lebih dikenal dengan istilah kitab kuning.
Sedangkan dalam memimpin sebuah pesantren, kyai menggunakan berbagai gaya kepemimpinan yang berbeda-beda. Menurut Mastuhu (1999:160) kepemimpinan kyai di pesantren memiliki beberapa corak, dari yang kharismatik ke rasional, dari yang otoriter-paternalistik ke diplomatic partisipatif dan dari laissez fair ke birokratik. Sedangkan menurut Arifin (…..) kepemimpinan kyai terjadi pola kepemimpinan yang mengarah kepada religio-paternalistik di mana adanya suatu interaksi, artinya hubungan antara kyai dengan para santri dan bawahan didasarkan pada nilai-nilai keagamaan yang disandarkan pada gaya kepemimpinan nabi Muhammad SAW.
Penelitian tentang kyai selama ini sudah sering dilakukan, di antaranya oleh Clifford Greets (1999) yang kemudian kemudian memunculkan teori tentang kyai sebagai makelar budaya (cultural broker). Menurut teori ini, kyai berperan membendung dampak negatif dari arus budaya luar yang masuk ke masyarakat tradisional di Jawa.
Penelitian berikutnya dilakukan oleh Hiriko Horikoshi (1987) terhadap kyai di pesantren Cipari garut Jawa Barat. Hasil penelitian ini menjelaskan bahwa kyai berperan kreatif dalam perubahan sosial, bukan karena kyai mencoba meredam akibat perubahan yang terjadi justru karena mempelopori perubahan sosial dengan caranya sendiri, ia bukan melakukan penyaringan informasi, melainkan menawarkan agenda perubahan yang dianggap sesuai dengan perubahan nyata masyarakat yang dipimpinnya. Hasil penelitian ini sekaligus mengoreksi penelitian Greets sebelumnya.
Zamakhsyari Dhofir (….) melakukan penelitian terhadap kyai dan pesantren dalam perspektif yang tidak jauh berbeda, ia menfokuskan penelitiannya pada peranan kyai dalam usaha melestarikan Islam tradisional di Jawa. Dalam penelitian ini, ia bermaksud mengkaji internal evolution (evolusi dari dalam) dari tradisi pesantren dan Islam tradisional di Jawa. Temuan yang didapatkan oleh Dhofir adalah para kyai berusaha mengembangkan pesantren dengan cara menyegarkan kembali pengertian dan jiwa dari ideology ahlussunnah wal jama’ah, sehingga pandangan hidup Islam tetap relevan dengan kehidupan modern.
Masih banyak lagi penelitian tentang kyai yang telah dilakukan seperti penelitian oleh Imron tentang kyai dan kitab kuning, kyai menurutnya sebagai figure sentral yang unik. Penelitian oleh Pradjarta Dirjosanyoto tentang respon kyai yang bervariasi dan bahkan berubah-ubah terhadap perubahan sosial, penelitian tentang kyai dan politik yang dilakukan oleh Ali Maschan Moesa serta penelitian oleh Ali Soekamto tentang pengarus status kyai terhadap sejumlah santri yang belajar di pesantren.
Meskipun banyak penelitian yang telah dilakukan para peneliti, namun masih terdapat sisi lain yang perlu ditelaah tentang keberadaan kyai, salah satunya adalah Model Kepemimpinan Kyai dalam Mengembangkan Pendidikan Pesantren (Studi di Pesantren Zainul Hasan Genggong Pajarakan Probolinggo). Penelitian ini penting dilakukan karena di samping kyai di pesantren ini telah mengalami empat kali pergantian kepemimpinan dengan kondisi zaman dan konteks sosial yang berbeda, juga pendidikan pesantren mengalami kemajuan yang cukup pesat.