Sabtu, 07 Juni 2008

MODEL KEPEMIMPINAN KYAI DALAM MENGEMBANGKAN PENDIDIKAN PESANTREN

Pengantar
Kepemimpinan kyai dalam pesantren merupakan salah satu unsur kunci yang berpengaruh terhadap keberhasilan dalam mencapai tujuan pensantren. Kepemimpinan sebagaimana difahami tidak lain adalah kesiapan mental yang diwujudkan dalam bentuk kemampuan seseorang untuk memberikan bimbingan, mengarahkan dan mengatur serta menguasai orang lain agar mereka mau melakukan sesuatu urusan yang terkait dengan suatu tujuan yang diinginkan oleh lembaga pendidikan pesantren. Kesiapan dan kemampuan kepada pemimpin tersebut memainkan peranan sebagai juru tafsir atau pemberi penjelasan tentang kepentingan, minat, kemauan, cita-cita atau tujuan yang diinginkan untuk dicapai oleh sekelompok individu (Siswadi, 2003:251).
Menurut Mastuhu (1999:105) kepemimpinan kyai dalam pesantren dimaknai sebagai seni memanfaatkan seluruh daya pesantren untuk mencapai tujuan pesantren tersebut. Manifestasi yang paling menonjol dalam seni memanfaatkan daya tersebut adalah cara menggerakkan dan mengarahkan unsur pelaku pesantren untuk berbuat sesuai dengan kehendak pemimpin pesantren dalam rangka mencapai tujuan.
Merujuk pada pandangan tentang kepemimpinan kyai di atas adalah suatu hal yang menarik untuk didiskusikan secara formal, kenapa? Karena kyai merupakan pribadi yang unik seunik pribadi manusia, ia mempunyai karakteristik tertentu (yang khas) dalam memimpin yang berbeda jauh dengan kepemimpinan di luar pesantren, ia bagaikan seorang raja yang mempunyai hak otonom atas kerajaan yang dipimpinnya. Uniknya lagi, pesantren yang dipimpin oleh kyai sampai saat ini masih tetap survive dalam konteks memberikan pelayanan pendidikan dan pengabdian kepada masyarakat serta syi’ar atau dakwa agama (Islam).
Oleh karenanya, kyai tidak hanya dipandang sebagai tokoh agama (Islam) tetapi juga sebagai seorang pemimpin masyarakat, bahkan kekuasaannya seringkali melebihi kekuasaan pemimpin formal khususnya di pedesaan. Ia juga mempunyai pengaruh yang melampaui batas-batas geografis pedesaan berdasarkan legitimasi masyarakat untuk memimpin upacara-upacara keagamaan, adat dan menginterpretasi doktrin-doktrin agama. Selain itu, seorang kyai dipandang memiliki kekuatan-kekuatan spiritual yang bersifat transcendental karena kedekatannya dengan sang pencipta.
Kedudukan dan perannya yang sangat strategis tersebut, menjadikan seorang kyai tidak hanya tinggal diam di pesantren yang ia pimpin, tetapi juga hidup di tengah-tengah masyarakat luas. Ia memiliki jaringan komunikasi yang sangat luas dengan berbagai lapisan masyarakat melalui organisasi-organisasi keagamaan, kemasyarakatan, politik, pemerintahan dan lain sebagainya.
Horikoshi (1987) dalam bukunya Kyai dan Perubahan Sosial menyebutkan bahwa kyai memiliki sedikitnya tiga peran yaitu: (1) sebagai pemangku masjid dan madrasah, (2) sebagai pengajar dan pendidik, dan (3) sebagai ahli dan penguasa dalam hukum Islam. Dengan mengajar dan mendidik, seorang kyai dapat memelihara keyakinan dan nilai-nilai kulural, bahkan tidak jarang kyai menjadi personifikasi dari nilai-nilai itu sendiri. Sebagai ahli dan penguasa hukum Islam, kyai mendapat tugas untuk memelihara dan menafsirkan hukum Islam. Menghadapi permasalahan yang muncul di tengah-tengah masyarakat, kyai biasanya memecahkan persoalan tersebut dengan merujuk pada kitab-kitab Islam klasik atau yang lebih dikenal dengan istilah kitab kuning.
Sedangkan dalam memimpin sebuah pesantren, kyai menggunakan berbagai gaya kepemimpinan yang berbeda-beda. Menurut Mastuhu (1999:160) kepemimpinan kyai di pesantren memiliki beberapa corak, dari yang kharismatik ke rasional, dari yang otoriter-paternalistik ke diplomatic partisipatif dan dari laissez fair ke birokratik. Sedangkan menurut Arifin (…..) kepemimpinan kyai terjadi pola kepemimpinan yang mengarah kepada religio-paternalistik di mana adanya suatu interaksi, artinya hubungan antara kyai dengan para santri dan bawahan didasarkan pada nilai-nilai keagamaan yang disandarkan pada gaya kepemimpinan nabi Muhammad SAW.
Penelitian tentang kyai selama ini sudah sering dilakukan, di antaranya oleh Clifford Greets (1999) yang kemudian kemudian memunculkan teori tentang kyai sebagai makelar budaya (cultural broker). Menurut teori ini, kyai berperan membendung dampak negatif dari arus budaya luar yang masuk ke masyarakat tradisional di Jawa.
Penelitian berikutnya dilakukan oleh Hiriko Horikoshi (1987) terhadap kyai di pesantren Cipari garut Jawa Barat. Hasil penelitian ini menjelaskan bahwa kyai berperan kreatif dalam perubahan sosial, bukan karena kyai mencoba meredam akibat perubahan yang terjadi justru karena mempelopori perubahan sosial dengan caranya sendiri, ia bukan melakukan penyaringan informasi, melainkan menawarkan agenda perubahan yang dianggap sesuai dengan perubahan nyata masyarakat yang dipimpinnya. Hasil penelitian ini sekaligus mengoreksi penelitian Greets sebelumnya.
Zamakhsyari Dhofir (….) melakukan penelitian terhadap kyai dan pesantren dalam perspektif yang tidak jauh berbeda, ia menfokuskan penelitiannya pada peranan kyai dalam usaha melestarikan Islam tradisional di Jawa. Dalam penelitian ini, ia bermaksud mengkaji internal evolution (evolusi dari dalam) dari tradisi pesantren dan Islam tradisional di Jawa. Temuan yang didapatkan oleh Dhofir adalah para kyai berusaha mengembangkan pesantren dengan cara menyegarkan kembali pengertian dan jiwa dari ideology ahlussunnah wal jama’ah, sehingga pandangan hidup Islam tetap relevan dengan kehidupan modern.
Masih banyak lagi penelitian tentang kyai yang telah dilakukan seperti penelitian oleh Imron tentang kyai dan kitab kuning, kyai menurutnya sebagai figure sentral yang unik. Penelitian oleh Pradjarta Dirjosanyoto tentang respon kyai yang bervariasi dan bahkan berubah-ubah terhadap perubahan sosial, penelitian tentang kyai dan politik yang dilakukan oleh Ali Maschan Moesa serta penelitian oleh Ali Soekamto tentang pengarus status kyai terhadap sejumlah santri yang belajar di pesantren.
Meskipun banyak penelitian yang telah dilakukan para peneliti, namun masih terdapat sisi lain yang perlu ditelaah tentang keberadaan kyai, salah satunya adalah Model Kepemimpinan Kyai dalam Mengembangkan Pendidikan Pesantren (Studi di Pesantren Zainul Hasan Genggong Pajarakan Probolinggo). Penelitian ini penting dilakukan karena di samping kyai di pesantren ini telah mengalami empat kali pergantian kepemimpinan dengan kondisi zaman dan konteks sosial yang berbeda, juga pendidikan pesantren mengalami kemajuan yang cukup pesat.

Selasa, 29 April 2008

RESEP TERBANG KE DUNIA FILSAFAT

  1. Anda harus belajar menjadi pemula karena akan timbul rasa heran (keheranan). Filsafat berawal dari rasa heran.
  2. Jangan percaya begitu saja terhadap segala yang ada tapi selalu mempersoalkannya
  3. Lucutilah ciri-ciri kongkret yang anda lihat dan temukanlah ciri umum dalam hal kongkret itu contoh hal yang kongkret seperti bentuk, warna, berat dst. Contoh hal yang umum/abstrak seperti keluasan, materi, roh, ada, substansi dst.
  4. Carilah titik pangkal dari segala sesuatu yang anda amati. Seperti manakah yang lebih dulu, buah mangga yang anda lihat atau pikiran anda tentang mangga? Dalam hal ini anda harus memilih salah satu, maka anda akan menemukan posisi anda dalam menjelaskan segala sesuatu.
  5. Berfikirlah secara totalitas/ keseluruhan bukan bagian-bagian (hindarilah pandangan ‘mata dekat’ dan upayakan untuk memiliki pandangan ‘mata jauh’) (Budi Hardiman, Filsafat Modern)

Kamis, 03 April 2008

LANDASAN FILOSOFIS PENDIDIKAN DASAR (Tugas Kritik Buku pada Program Short Course Bagi Dosen PGSD/MI di UPI Bandung Pebruari 2008)

Karya Prof. Dr. Waini Rasyidin dengan judul modul "Landasan Filosofis Pendidikan Dasar" merupakan sumbangan yang sangat berarti bagi dunia pendidikan. Dengan latar belakang keilmuan yang mumpuni, beliau berupaya membongkar dasar-dasar pendidikan dari sudut pandang histories, filosofis, psikologis, pedagosis, sosiologis hingga pada tantangan yang menghalanginya.
Buku ini menjelaskan bahwa pendidikan khususnya pendidikan dasar itu sangat penting dan akan menentukan masa depannya, sementara bangsa ini menurut waini sebagian besar baru mampu menempuh pendidikan dasar antara lain karena kemiskinan pada hal belum diadakan lagi sekolah gratis. Selanjutnya beliau juga mengungkapkan bahwa masalah kebutuhan pendidikan di Indonesia telah lama dikenali yaitu pendidikan harus mampu mengisi dan menjadi isi dari kemerdekaan.bangsa. Tetapi seperti halnya penanggulangan kemiskinan, pembinaan pendidikan dan persekolahan RI selama periode 1950-2000 (paruh kedua abad 20) belum memuaskan kecuali aspek kuantitas distribusi pendidikan dasar namun tanpa wajib belajar (Wajar) di sekolah. Pendidikan/pengajaran SD harus merakyat atau paling akrab dengan rakyat agar anak-anak selain dididik guru melalui pembelajaran, juga dididik melalui partisipasi sosial pada kegiatan masyarakat sekitar. Misalnya melalui Pekan gotong royong kebersihan jalan umum, Kampanye air bersih, hari Bumi, vaksinasi dengan palang merah remaja. Oleh karena itu mahasiswa perlu mengenali latar historis pendidikan dan perkembangan maksud/tujuannya. Sehubungan dengan tuntutan demokrasi dan ideologi-filosofis Pancasila, aspek dimensi-dimensi filosofis pendidikan dasar khususnya SD perlu klarifikasi bagi tuntasnya masalah kuantitas (pemerataan mutlak distribusi) pendidikan di SD. Juga masalah kualitas pendidikan harus dibenahi sekuranya sejak SLTP atau kalau bisa dari sejak kelas tinggi SD bagi optimasi pertumbuhan IQ, kesehatan jasmani dan perilaku sosial..
Dalam deskripsi singkat modul Landasan filosofis pendidikan dasar ini, beliau menulis bahwa persekolahan jenjang SD tidak sekedar melaksanakan pengajaran/pembelajaran atas dasar kurikulum standar nasional dan GBPP lokal. Pengajaran di SD setempat juga dilaksanakan secara holistik dalam arti pengajaran yang mendidik, lebih-lebih melalui pembelajaran tematik di kelas rendah (primary) dan pengajaran di kelas tinggi (intermediate) terutama berciri pembelajaran terpadu. Juga SD perlu dilengkapi dengan program ekstra-kurikulum dan ko-kurikulum agar pendidikan anak/awal remaja terlaksana seimbang antara mendidik dan mengajar. Pemerataan optimal SD yang lebih berfokus kuantitas terus diperjuangkan agar pembinaan kualitas mendidik lebih beradab dan berkeadilan untuk semua anak tanpa kecuali
Buku ini ditulis dengan maksud untuk:
Mengenali konsep pendidikan berdasarkan tindakan mendidik dalam relasi pergaulan manusiawi bagi perkembangan individual, maupun daya-upaya masyarakat melimpahkan nilai-nilai budaya kepada generasi manusia muda sebagai alat bagi perkembangan terbaik manusia yang bakal mampu membina kesejahteraan masyarakat..
Memahami makna, maksud dan cita-cita (tujuan-tujuan jangka panjang) pendidikan bagi kepentingan individu dan masyarakat bangsa melebihi tujuan pengajaran di sekolah dan tujuan-tujuan khusus pembelajaran (instruksional)
Memahami dimensi-dimensi filosofis dari pemerataan distribusi dan partisipasi pendidikan dasar dan SD sesuai filsafat/ideologi persatuan Pancasila
Berkepedulian terhadap kesenjangan atau diskrepansi antara konsep ideal pendidikan nasional dengan situasi aktual pendidikan dasar yang belum berkeadilan khususnya di kebanyakan daerah-daerah di Indonesia.
Akhirnya, sebagai manusia biasa, Waini dalam menulis buku ini sudah tentu mempunyai kelebihan dan kekurangan baik dari sisi design cover, penjilidan, isi, sistematika penulisan dan lain sebagainya. Namun, harus kita akui bahwa sekali lagi buku ini telah banyak menyumbangkan pemikiran dalam bidang pendidikan khususnya terkait dengan landasan (dasar-dasar) kependidikan. Selain itu, dalam mempelajari buku ini, beliau melengkapinya dengan perumusan tujuan yang jelas, petunjuk belajar yang mengantarkan pembaca pada pemahaman yang maksimal serta alat ukur/evaluasi yang baik.
Sedangkan kelemahannya, saya kira bila dilihat dari sisi sebagaimana disebutkan di atas, buku ini kurang memenuhi standar. Dari sisi design cover tidak mencerminkan adanya unsur seni sehingga tidak menarik dan terkesan buku mati. Sedangkan dari sisi sistematika penulisan per-bab terkesan seperti bunga rampai-di mana bab yang satu dengan bab yang lainnya tidak padu. Dan masih banyak lagi kelemahan-kelemahannya seperti penjilidan, kualitas kertas cover masih di bawah standar kualitas baik.

ANALISIS KEBIJAKAN (Tugas UAS Short Course Bagi Dosen PGSD/MI di Uneversitas Pendidikan Indonesi Bandung 28 Pebruari 2008)

A. lDE KEBlJAKAN
Dalam era globalisasi dan pasar bebas, kita dihadapkan pada perubahan-perubahan yang tidak menentu. Ibarat nelayan di lautan lepas yang dapat menyesatkan jika tidak memiliki kompas sebagai pedoman untuk bertindak dan mengarunginya. Hal ini telah mengakibatkan hubungan yang tidak linear antara pendidikan dan dunia kerja karena apa yang terjadi di lapangan erja sulit diikuti oleh dunia pendidikan, sehingga terjadi kesenjangan. Menanggapi hal tersebut dan krisis moneter yang melanda Negara-negara Asia akhir-akhir ini Direktur Pasifk Ekonomic Cooperation menyataan bahwa bangsa-bangsa khususnya di Asia Pasifik perlu mempunyai outward and forward looking. Pembangunan nasional jangan hanya melhat kebutuhan internal masyaraat dan bangsa, tetapi juga pandangan tersebut perlu dijalin dengan pandangan keluar dan ke depan, masyarakat dan bangsa kita adalah bagian dari suatu masyarakat dunia yang semakin menyatu.
Dalam kaitannya dengan pendidikan, berbagai analisis menunjukkan bahwa Pendidikan nasional dewasa ini sedang dihadapkan pada berbagai krisis yang perlu mendapat penanganan secepatnya di antaranya berkaitan dengan masalah relevensi atau kesesuaian antara pendidikan dengan kebutuhan masyarakat dan pembangunan. Dalam kerangka inilah pemerintah menggagas KTSP, sebagai tindak lanjut kebijakan pendidikan dalam konteks otonomi daerah dan desentralisasi. KTSP merupakan kurikulum operasional yang pengembangannya diserahkan kepada daerah dan satuan pend id i kan .dengan demikian, diharapkan melalui KTSP ini jurang pemisah yang semakin menganga antara pendidikan dan pembangunan serta kebutuhan dengan dunia kerja dapat segera teratasi.
B. ACUAN NlLAl KEBlJAKAN
Acuan operasional penyusunan KTSP sedikitnya mencakup 12 poin yakni: peningkatan iman dan takwa serta akhlak mulia; peningkatan potensi, kecerdasan dan minat sesuai dengan tingkat perkembangan dan kemampuan peserta didik; keragaman potensi dan karakteristik daerah dan lingkungan; tuntutan pembangunan daerah dan nasional; tuntutan dunia kerja; perkembangan ilmu pengetahuan; dinamika perkembangan global; persatuan nasional dan nilai-nilai kebangsaan; kondisi sosial budaya setempat; kesetaraan jender dan karakteristik satuan pendidikan
C. FORMULASl KEBlJAKAN
Formulasi Kebijakan Kurikulum ini sebagaimana dijelaskan oleh Undang-Undang dan Peraturan Pemerintah adalah sebagai berikut:
UU nomor 20 Tahun 2003 tentang Sisdiknas
Dalam UU Sisdiknas dikemukakan bahwa SNP (Standar Nasional Pendidikan terdiri atas standar isi, proses, kompetensi lulusan, tenaga kependidikan, sarana dan prasarana, pengelolaan, pembiayaan dan penilaian pendidikan.
PP nomor 19 Tahun 2005 tentang Standar Nasional Pendidikan
PP No. 19 tahun 2005 adalah peraturan tentang SNP. SNP merupakan criteria minimal tentang system pendidikan di seluruh wilayah NKRI. Dalam peraturan tersebut dikemukakan bahwa kurikulum adalah seperangkat rencana dan pengaturan mengenai tujuan,isi, dan bahan pelajaran serta cara yang digunakan sebagai pedoman penyelenggaraan kegiatan pembelajaran untuk mencapai tujuan pendidikan tertentu. Dalam peraturan tersebut dijelaskan tentang KTSP dan hal-hal yang terkait dengannya.
Permendiknas nomor 22 Tahun 2006 tentang Standar Isi
Permendiknas no 22 th 2006 ini mengatur tentang Standar Isi untuk satuan pendidikan dasar dan menengah yang selanjutnya disebut standar isi, mencakup lingkup materi minimal dan tingkat kompetensi minimal untuk mencapai kompetensi lulusan minimal pada jenjang dan jenis penidikan tertentu.
Permendiknas nomor 23 Tahun 2006 tentang Standar Kompetensi Lulusan
Permendiknas no 23 th 2006 ini mengatur tentang Standar Kompetensi Lulusan (SKL) untuk satuan pendidikan dasar dan menengah digunakan sebagai pedoman penilaian dalam menentukan kelulusan peserta didik.. SKL meliputi SKL minimal satuan pendidikan dasar dan menengah, SKL minimal kelompok mata pelajaran, dan SKL minimal mata pelajaran yang akan bermuara pada kompetensi dasar.
Permendiknas nomor 24 Tahun 2006 tentang Pelaksanaan Permendiknas no. 22, dan 23.
Peraturan ini mengatur tentang pelaksanaan SKL dan Standar Isi. Dalam peraturan ini dikemukakan bahwa satuan pendidikan dasar dan menengah mengembangkan dan menetapkan kurikulum tingkat satuan pendidikan dasar dan menengah sesuai dengan kebutuhan satuan pendidikan yang bersangkutan.
D. TEORl
Kata kurikulum, berasal dari bahasa latin (Yunani), yakni cucere yang berubah menjadi kata benda curriculum. Kurikulum, jamaknya curicula, yang pertama kali dipakai dalam dunia atlantik. Kurikulum dalam arti sempit adalah " a course, esp a specific fixed course of study, as in school or college, as one leading to a degree.1" kurikulum adalah sejumlah mata pelajaran di sekolah atau di perguruan tinggi yang harus di tempuh untuk mendapatkan ijazah atau naik tingkat. Kurikulum secara umum adalah rangkaian semua program kegiatan yang telah di rencanakan dan diterapkan oleh masing-masing lembaga pendidikan baik sekolah dasar maupun perguruan tinggi hal ini sesuai dengan apa yang dikemukakan oleh Robert Zaiz "curriculum is a resourse of subject matters to be mastered 2" kurikulum adalah serangkaian mata pelajaran yang harus dikuasai.
Sedangkan pengertian kurikulum dalam arti luas, Ronald Doll mengemukakan bahwa kurikulum …all the experiences which are offered to learnes under the auspices or direction of the school. Kurikulum adalah semua pengalaman yang disajikan kepada murid di bawah naungan atau bimbingan sekolah, berbeda dengan apa yang dikemukakan oleh William B. Ragan mengartikan kurikulum …all the experiences of childler for which the school accepts respobility 3 kurikulum adalah segala pengalaman murid dibawah naungan tanggung jawab sekolah
Kurikulum adalah seperangkat rencana dan pengaturan mengenai tujuan, kompetensi dasar, materi standar, dan hasil belajar serta cara yang digunakan sebagai pedoman penyelenggaraan kegiatan pembelajaran untuk mencapai kompetensi dasar dan tujuan pendidikan.
Kurikulum untuk jenis pendidikan umum, kejuruan dan khusus pada jenjang pendidikan dasar dan menengah terdiri atas: 1) kelompok mata pelajaran agama dan akhlak mulya; 2) Kelompok mata pelajaran kewarganegaraan dan kepribadian; 3) Kelompok ilmu pengetahuan dan teknologi; 4) Kelompok mata pelajaran estetika; dan 5) Kelompok mata pelajaran jasmani, olah raga dan kesehatan.
Struktur kurikulum
E. ARGUMENTASl
KTSP yang diberlakukan Depertemen Pendidikan Nasional melalui Badan Standar Nasional Pendidikan (BNSP) sesungguhnya dimaksudkan untuk mempertegas pelaksanaan Kurikulum Berbasis Kompetensi (KBK). Artinya, kurikulum yang baru ini tetap memberikan tekanan pada pengembangan kompetensi siswa.
Sebagaimana diketahui bahwa pemberlakukan KTSP tidak melalui uji publik maupun uji coba, karena kurikulum ini telah diujicobakan melalui KBK yang diterapkan ke beberapa sekolah yang menjadi pilot project.
Fasli Jalal berpendapat bahwa pemberlakuan Kurikulum 2006 tergantung analisis Mendiknas. Namun, kurikulum ini hanya akan diterapkan di kelas 1 di semua jenjang. Selain itu, hanya sekolah yang siap, yang menerapkan kurikulum baru ini. Kesiapan sekolah ini ditandai dengan ketersediaan sarana dan prasarana, pengalaman menerapkan KBK, dan rasio murid. Pengalaman menerapkan KBK dapat menjadi bekal suatu sekolah untuk menerapkan kurikulum baru ini dan diharapkan tahun 2009, semua sekolah telah menerapkan kurikulum ini.
Setiap kurikulum yang diberlakukan di Indonesia memiliki kelebihan-kelebihan masing-masing bergantung kepada situasi dan kondisi saat di mana kurikulum tersebut diberlakukan. Menurut hemat penulis KTSP yang direncanakan dapat diberlakukan secara menyeluruh di semua sekolah-sekolah di Indonesia pada tahun 2009 itu juga memiliki beberapa kelebihan jika dibanding dengan kurikulum sebelumnya, terutama kurikulum 2004 atau KBK.
Kelebihan-kelebihan KTSP
Mendorong terwujudnya otonomi sekolah dalam penyelenggaraan pendidikan.
Tidak dapat dipungkiri bahwa salah satu bentuk kegagalan pelaksanaan kurikulum di masa lalu adalah adanya penyeragaman kurikulum di seluruh Indonesia, tidak melihat kepada situasi riil di lapangan, dan kurang menghargai potensi keunggulan lokal. Dengan adanya penyeragaman ini, sekolah di kota sama dengan sekolah di daerah pinggiran maupun di daerah pedesaan. Penyeragaman kurikulum ini juga berimplikasi pada beberapa kenyataan bahwa sekolah di daerah pertanian sama dengan sekolah yang daerah pesisir pantai, sekolah di daerah industri sama dengan di wilayah pariwisata. Oleh karenanya, kurikulum tersebut menjadi kurang operasional, sehingga tidak memberikan kompetensi yang cukup bagi peserta didik untuk mengembangkan diri dan keunggulankhas yang ada di daerahnya. Sebagai implikasi dari penyeragaman ini akibatnya para lulusan tidak memiliki daya kompetitif di dunia kerja dan berimplikasi pula terhadap meningkatnya angka pengangguran. Untuk itulah kehadiran KTSP diharapkan dapat memberikan jawaban yang konkrit terhadap mutu dunia pendidikan di Indonesia.
Dengan semangat otonomi itu, sekolah bersama dengan komite sekolah dapat secara bersama-sama merumuskan kurikulum yang sesuai dengan kebutuhan, situasi, dan kondisi lingkungan sekolah. Sebagai sesuatu yang baru, sekolah mungkin mengalami kesulitan dalam penyusunan KTSP. Oleh karena itu, jika diperlukan, sekolah dapat berkonsultasi baik secara vertikal maupun secara horizontal. Secara vertikal, sekolah dapat berkonsultasi dengan Dinas Pendidikan Daerah Kabupaten atau Kota, Dinas Pendidikan Provinsi, Lembaga Penjamin Mutu Pendidikan (LPMP) Provinsi, dan Departemen Pendidikan Nasional. Sedangkan secara horizontal, sekolah dapat bermitra dengan stakeholder pendidikan dalam merumuskan KTSP. Misalnya, dunia industri, kerajinan, pariwisata, petani, nelayan, organisasi profesi, dan sebagainya agar kurikulum yang dibuat oleh sekolah benar-benar mampu menjawab kebutuhan di daerah di mana sekolah tersebut berada
Mendorong para guru, kepala sekolah, dan pihak manajemen sekolah untuk semakin meningkatkan kreativitasnya dalam penyelenggaraan program-program pendidikan. Dengan berpijak pada panduan kurikulum tingkat satuan pendidikan dasar dan menengah yang dibuat oleh BNSP, sekolah diberi keleluasaan untuk merancang, mengembangkan, dan mengimplementasikan kurikulum sekolah sesuai dengan situasi, kondisi, dan potensi keunggulan lokal yang bisa dimunculkan oleh sekolah. Sekolah bisa mengembangkan standar yang lebih tinggi dari standar isi dan standar kompetensi lulusan. Sebagaimana diketahui, prinsip pengembangan KTSP adalah (1) Berpusat pada potensi, perkembangan, kebutuhan, dan kepentingan peserta didik dan lingkungannya; (2) Beragam dan terpadu; (3) Tanggap terhadap perkembangan ilmu pengetahuan, teknologi, dan seni; (4) Relevan dengan kebutuhan kehidupan; (5) Menyeluruh dan berkesinambungan; (6) Belajar sepanjang hayat; (7) Dan seimbang antara kepentingan nasional dan kepentingan daerah. Berdasarkan prinsip-prinsip ini, KTSP sangat relevan dengan konsep desentralisasi pendidikan sejalan dengan pelaksanaan otonomi daerah dan konsep manajemen berbasis sekolah (MBS) yang mencakup otonomi sekolah di dalamnya. Pemerintah daerah dapat lebih leluasa berimprovisasi dalam meningkatkan kualitas pendidikan. Di samping itu, sekolah bersama komite sekolah diberi otonomi menyusun kurikulum sendiri sesuai dengan kebutuhan di lapangan.
KTSP sangat memungkinkan bagi setiap sekolah untuk menitikberatkan dan mengembangkan mata pelajaran tertentu yang akseptabel bagi kebutuhan siswa.
Sesuai dengan kebijakan Departemen Pendidikan Nasional yang tertuang dalam Peraturan Mendiknas No. 22 Tahun 2006 tentang Standar Isi (SI) dan Peraturan Mendiknas No. 23 tahun 2006 tentang Standar Kompetensi Lulusan (SKL), sekolah diwajibkan menyusun kurikulumnya sendiri. Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP) itu memungkinkan sekolah menitikberatkan pada mata pelajaran tertentu yang dianggap paling dibutuhkan siswanya. Sebagai contoh misalnya, sekolah yang berada dalam kawasan pariwisata dapat lebih memfokuskan pada mata pelajaran bahasa Inggris atau mata pelajaran di bidang kepariwisataan lainnyaSekolah-sekolah tersebut tidak hanya menjadikan materi bahasa Inggris dan kepariwisataan sebagai mata pelajaran saja, tetapi lebih dari itu menjadikan mata pelajaran tersebut sebagai sebuah ketrampilan. Sehingga kelak jika peserta didik di lingkungan ini telah menyelesaikan studinya bila mereka tidak berkeinginan untuk melanjutkan studinya ke jenjang perguruan tinggi mereka dapat langsung bekerja menerapkan ilmu dan ketrampilan yang telah diperoleh di bangku sekolah. KTSP ini sesungguhnya lebih mudah, karena guru diberi kebebasan untuk mengembangkan kompetensi siswanya sesuai dengan lingkungan dan kultur daerahnya. KTSP juga tidak mengatur secara rinci kegiatan belajar mengajar (KBM) di kelas, tetapi guru dan sekolah diberi keleluasaan untuk mengembangkannya sendiri sesuai dengan kondisi murid dan daerahnya. Di samping itu yang harus digarisbawahi adalah bahwa yang akan dikeluarkan oleh BNSP tersebut bukanlah kurikulum tetapi tepatnya Pedoman Penyusunan Kurikulum 2006.
KTSP akan mengurangi beban belajar siswa yang sangat padat dan memberatkan kurang lebih 20%. Dengan diberlakukannya KTSP itu nantinya akan dapat mengurangi beban belajar sebanyak 20% karena KTSP tersebut lebih sederhana. Di samping jam pelajaran akan dikurangi antara 100-200 jam per tahun, bahan ajar yang dianggap memberatkan siswa pun akan dikurangi. Meskipun terdapat pengurangan jam pelajaran dan bahan ajar, KTSP tetap memberikan tekanan pada pengembangan kompetensi siswa. Pengurangan jam belajar siswa tersebut merupakan rekomendasi dari BNSP. Rekomendasi ini dapat dikatakan cukup unik, karena selama bertahun-tahun beban belajar siswa tidak mengalami perubahan, dan biasanya yang berubah adalah metode pengajaran dan buku pelajaran semata. Jam pelajaran yang biasa diterapkan kepada siswa sebelunya berkisar antara 1.000-1.200 jam pelajaran dalam setahun. Jika biasanya satu jam pelajaran untuk siswa SD, SMP dan SMA adalah 45 menit, maka rekomendasi BNSP ini mengusulkan pengurangan untuk SD menjadi 35 menit setiap jm pelajaran, untuk SMP menjadi 40 menit, dan untuk SMA tidak berubah, yakni tetap 45 menit setiap jam pelajaran. Total 1.000 jam pelajaran dalam satu tahun ini dengan asumsi setahun terdapat 36-40 minggu efektif kegiatan belajar mengajar.dan dalam seminggu tersebut meliputi 36-38 jam pelajaran.
Alasan diadakannya pengurangan jam pelajaran ini karena menurut pakar-pakar pendidikan anak bahwa jam pelajaran di sekolah-sekolah selama ini terlalu banyak. Apalagi kegiatan belajar mengajar masih banyak yang terpaku pada kegiatan tatap muka di kelas. Sehingga suasana yang tercipta pun menjadi terkesan sangat formal. Dampak yang mungkin tidak terlalu disadari adalah siswa terlalu terbebani dengan jam pelajaran tersebut. Akibat lebih jauh lagi adalah mempengaruhi perkembangan jiwa anak. Persoalan ini lebih dirasakan untuk siswa SD dan SMP. Dalam usia yang masih anak-anak, mereka membutuhkan waktu bermain yang cukup untuk mengembangkan kepribadiannya. Suasana formal yang diciptakan sekolah, ditambah lagi standar jam pelajaran yang relatif lama, tentu akan memberikan dampak tersendiri pada psikologis anak. Banyak pakar yang menilai sekolah selama ini telah merampas hak anak untuk mengembangkan kepribadian secara alami.
Inilah yang menjadi dasar pemikiran bahwa jam pelajaran untuk siswa perlu dikurangi. Meski demikian, perngurangan itu tidak dilakukan secara ekstrim dengan memangkas sekian jam frekwensi siswa berhubungan dengan mata pelajaran di kelas. Melainkan memotong sedikit, atau menghilangkan titik kejenuhan siswa terhadap mata pelajaran dalam sehari akibat terlalu lama berkutat dengan pelajaran itu. Dapat dikatakan bahwa perberlakuan KTSP ini sebagai upaya perbaikan secara kontinuitif. Sebagai contoh, kurikulum 1994 dapat dinilai sebagai kurikulum yang berat dalam penerapannya. Ketika diberlakukan Kurikulum 1994 banyak sekolah yang terlalu bersemangat ingin meningkatkan kompetensi iptek siswa, sehingga muatan iptek pun dibesarkan. Tetapi yang patut disayangkan adalah SDM yang tersedia belum siap, sehingga hasilnya hanya sekitar 30% siswa yang mampu menerapkan kurikulum tersebut.
KTSP memberikan peluang yang lebih luas kepada sekolah-sekolah plus untuk mengembangkan kurikulum yang sesuai dengan kebutuhan.Pola kurikulum baru (KTSP) akan memberi angin segar pada sekolah-sekolah yang menyebut dirinya nasional plus. Sekolah-sekolah swasta yang kini marak bermunculan itu sejak beberapa tahun terakhir telah mengembangkan variasi atas kurikulum yang ditetapkan pemerintah. Sehingga ketika pemerintah kemudian justru mewajibkan adanya pengayaan dari masing-masing sekolah, sekolah-sekolah plus itu jelas akan menyambut gembira.
Kehadiran KTSP ini bisa jadi merupakan kabar baik bagi sekolah-sekolah plus. Sebagian sekolah-sekolah plus tersebut ada yang khawatir ditegur karena memakai bilingual atau memakai istilah kurikulum yang bermacam-macam seperti yang ada sekarang. Sekarang semua bentuk improvisasi dibebaskan asal tidak keluar panduan yang telah ditetapkan dalam KTSP.
Sebagai contoh, Sekolah High Scope Indonesia, sebelumnya sejak awal berdiri pada 1990 telah menggunakan kombinasi kurikulum Indonesia dengan Amerika Serikat (AS). Kendati mendapat lisensi dari AS, namun pihaknya tetap mematuhi kurikulum pemerintah. Caranya dengan mematuhi batas minimal, namun secara optimal memberikan penekanan pada aspek-aspek tertentu yang tidak diatur oleh kurikulum. Misalnya tetap memberikan materi Bahasa Indonesia, namun menggunakan bahasa Inggris sebagai bahasa pengantar utama.
Kelemahan-kelemahan KTSP
Setiap kurikulum yang diberlakukan di Indonesia di samping memiliki kelebihan-kelebihan juga memiliki kelemahan-kelamahan. Sebagai konsekuansi logis dari penerapan KTSP ini, setidak-tidaknya menurut penulis terdapat beberapa kelemahan-kelamahan dalam KTSP maupun penerapannya, di antaranya adalah sebagai berikut:
Kurangnya SDM yang diharapkan mampu menjabarkan KTSP pada kebanyakan satuan pendidikan yang ada. Pola penerapan KTSP atau kurikulum 2006 terbentur pada masih minimnya kualitas guru dan sekolah. Sebagian besar guru belum bisa diharapkan memberikan kontribusi pemikiran dan ide-ide kreatif untuk menjabarkan panduan kurikulum itu (KTSP), baik di atas kertas maupun di depan kelas. Selain disebabkan oleh rendahnya kualifikasi, juga disebabkan pola kurikulum lama yang terlanjur mengekang kreativitas guru.
Kurangnya ketersediaan sarana dan prasarana pendukung sebagai kelengkapan dari pelaksanaan KTSP. Ketersediaan sarana dan prasarana yang lengkap dan representatif merupakan salah satu syarat yang paling urgen bagi pelaksanaan KTSP. Sementara kondisi di lapangan menunjukkan masih banyak satuan pendidikan yang minim alat peraga, laboratorium serta fasilitas penunjang yang menjadi syarat utama pemberlakuan KTSP.
Masih banyak guru yang belum memahami KTSP secara komprehensif baik konsepnya, penyusunannya maupun prakteknya di lapangan. Masih rendahnya kuantitas guru yang diharapkan mampu memahami dan menguasai KTSP dapat disebabkan karena pelaksanaan sosialisasi masih belum terlaksana secara menyeluruh. Jika tahapan sosialisasi tidak dapat tercapai secara menyeluruh, maka pemberlakuan KTSP secara nasional yang targetnya hendak dicapai paling lambat tahun 2009 tidak memungkinkan untuk dapat dicapai.
Penerapan KTSP yang merekomendasikan pengurangan jam pelajaran akan berdampak berkurang pendapatan para guru. Penerapan Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP) akan menambah persoalan di dunia pendidikan. Selain menghadapi ketidaksiapan sekolah berganti kurikulum, KTSP juga mengancam pendapatan para guru. Sebagaimana diketahui rekomendasi BSNP terkait pemberlakuan KTSP tersebut berimplikasi pada pengurangan jumlah jam mengajar. Hal ini berdampak pada berkurangnya jumlah jam mengajar para guru. Akibatnya, guru terancam tidak memperoleh tunjangan profesi dan fungsional. Untuk memperoleh tunjangan profesi dan fungsional semua guru harus mengajar 24 jam, jika jamnya dikurangi maka tidak akan bisa memperoleh tunjangan. Sebagai contoh, pelajaran Sosiologi untuk kelas 1 SMA atau kelas 10 mendapat dua jam pelajaran di KTSP maupun kurikulum sebelumnya. Sedangkan di kelas 2 SMA atau kelas 11 IPS, Sosiologi diajarkan selama lima jam pelajaran di kurikulum lama. Namun di KTSP Sosiologi hanya mendapat jatah tiga jam pelajaran. Hal yang sama terjadi di kelas 3 IPS. Pada kurikulum lama, pelajaran Sosiologi diajarkan untuk empat jam pelajaran tapi pada KTSP menjadi tiga jam pelajaran. Sementara itu masih banyak guru yang belum mengetahui tentang ketentuan baru kurikulum ini. Jika KTSP telah benar-benar diberlakukan, para guru sulit memenuhi ketentuan 24 jam mengajar agar bisa memperoleh tunjangan.
Beberapa faktor kelemahan di atas harus menjadi perhatian bagi pemerintah agar pemberlakuan KTSP tidak hanya akan menambah daftar persoalan-persoalan yang dihadapi dalam dunia pendidikan kita. Jika tidak, maka pemberlakuan KTSP hanya akan makin menambah daftar carut marutnya pendidikan di Indonesia.

PEMBELAJARAN MEMBACA PEMAHAMAN MELALUI PENDEKATAN KONSTRUKTIVISME (Tugas Akhir Short Course bagi Dosen PGSD/MI di UPI Bandung 28 Pebruari 2008)

A. Rasional
Teori Konstruktivisme dikembangkan berdasarkan gagasan Piaget dan Lev Vigotsky (Slavin;1994:225) kedua ahli tersebut mengemukakan bahwa perubahan kognitif hanya terjadi jika konsep yang telah difahami sebelumnya dolah melalui proses ketidakseimbangan dalam upaya memahami informasi-informasi baru. Pengetahuan yang dikonstruksi secara kolaborasi antara indvidu yang berinteraksi dengan lingkungan. Yang selanjutnya kondisi tersebut dIsesuaKan oleh Individu itu sendiri. Proses penyesuaian tersebut sejajar dengan pengkonstruksian pengetahuan pada setiap individu. Teori ini memandang bahwa belajar adalah proses di mana siswa secara terus menerus memeriksa informasi baru yang berlawanan dengan aturan lama dan selanjutnya merevisi aturan tersebut jika tidak sesuai lagi (Slavin1994: 225). Jadi konstruktivisme merupakan kegiatan melihat pembelajaran dari sudut pandang pemerosesan informasi.
Ada banyak kelebihan pendekatan konstruktivisme yaitu: siswa membangun pengetahuan dalam fikirannya sendiri. Guru membantu proses pembangunan agar siswa dapat memahami informasi dengan cepat. Di samping itu guru menyadarkan pada siswa bahwa mereka dapat menggunaan strateginya sendiri dapat membangun makna. Siswa berupaya memperoleh pemahaman yang tinggi dan guru membimbingnya. Adapun misi utama pendekatan konstruktivisme adalah membantu siswa untuk membangun pengetahuannya sendiri melalui proses internalisasi pembentukan kembali dan melakukan transformasi informasi yang diperolehnya sebagai pengetahuan yang baru.
Dalam pendekatan ini belajar merupaan suatu proses untuk memahami makna baru yang dibangun oleh siswa dalam konteks pengetahuannya yang mutakhir (Cox dan Zarillo: 1993:6). Membaca pemahaman merupakan suatu proses yang dilakukan siswa dalam membangun pemahaman baru secara aktif dengan berinteraksi pada lingkungan dan mereka dapat memodifikasi konsep-konsep baru yang diterimanya sesuai dengan perspektifnya. Prinsip yang paling esensial dalam pendekatan ini adalah siswa memperoleh pengetahuan yang banyak di luar sekolah. Oleh karena tu pendidikan di sekolah seharusnya memperhatikan dan menunjang proses alamiah tersebut. (Dahar 1988:193).
Pembelajaran membaca pemahaman dengan pendekatan konstruktivisme dilaksanaan dengan memberikan siswa kesempatan mengobservasi lingkungan benda-benda kegiatan-kegiatan atau gambar yang berhubungan dengan bacaan. Siswa diberikan kebebasan membaca bebas bahan yang disediakan. Selanjutnya sswa diminta memahaminya sesuai dengan perspektifnya masing-masing (Wilson;1996:229). Tugas guru adalah membantu siswa memahami konsep-konsep yang sukar dengan menggunaan gambar atau didemonstrasikan (Slavin1994: 229).
Wilson (1996:26) menyatakan bahwa aktivitas siswa dalam model pembelajaran konstruktivisme adalah (1) mengobservasi (2) menyusun interpretasi (3) kontekstualisasi (4) masa belajar keahlian kognitif (5) kolaborasi (6) interpretasi ganda (7) manifestasi ganda. Sedangan menurut Suparno (1997:49) berpendapat bahwa prinsip-prinsip konstruktivisme dalam belajar adalah: (1) pengetahuan dibangun sendiri oleh pembelajar baik secara personal maupun sosial (2) pengetahuan tidak dapat dipindahkan dari guru ke siswa kecuali hanya dengan keaktifan pembelajar tu sendiri untuk bernalar (3) pembelajar aktif mengkonstruksi terus menerus sehingga terjadi perubahan konsep menuju ke konsep lebih rinci lengap dan sesuai dengan konsep ilmiah. Dan (4) guru membantu menyediakan sarana dan stas agar proses konstruksi siswa berjalan mulus.
Pendekatan konstruktivisme merupakan salah satu alternatif pendekatan dalam pembelajaran membaca pemahaman di sekolah dasar. Pendekatan ini menekankan peranan pembelajar secara aktif dan kreatif. Melalui prosesif dan kreatif inilah diharapkan pembelajar memperoleh prestasi hasil belajar yang baik sesuai dengan harapan yang telah ditetapkan (Depdibud;1995/1996:17). Sejalan dengan tujuan pembelajaran kurikulum bahwa pembelajaran membaca pemahaman agar siswa memiliki kegemaran dan keterampilan membaca serta meningkatkan pengetahuan untuk diterapkan dalam kehidupan sehari-hari. Adapun tujuan pembelajaran membaca pemahaman di madrasah ibtidaiyah kelas V adalah (1) siswa mampu membaca teks bacaan dan menyimpulkan snya dengan kata-kata sendiri dan (2) siswa mampu membaca teks bacaan secara cepat serta dapat mencatat gagasan-gagasan utama.
Kemampuan membaca pemahaman siswa sekolah dasar di lndonesia paling rendah se ASEAN. lnformasi ini dapat kita baca pada hasil lAEA (The lnternational Association Evaluation Achievement). Siswa sekolah dasar lndonesia menduduki urutan ke 29 dar 30 negara peserta (Totong 1997:9). Adapun dugaan penyebab rendahnya kemampuan membaca tersebut adalah disebabkan kurangnya minat membaca siswa. Dan adanya kelompok yang tergolong tidak memiliki kemampuan membaca adalah disebaban oleh kemampuan guru dalam memilih dan menggunakan metode pembelajaran membaca yang tepat. Di samping itu kurang memadainya sarana peralatan yang mendukung pembelajaran membaca.
Upaya peningkatan pembelajaran membaca pemahaman adalah dengan rancangan model pembelajaran konstruktvisme. Model pembelajaran ini diharapan dapat membantu pemahaman pengetahuan yang terdapat dalam bacaan dan merupakan model pembelajaran yang paling efektif dan efisien. Pelaksanaan pembelajaran membaca pemahaman dalam metode konstuktivisme harus disesuaikan dengan fasilitas pengetahuan dan kemampuan sistem pendidikan yang berlaku. Hal itu terjadi arena pendekatan konstruktivisme menggunaan teori belajar konstruktivis dan prinsip pembelajarannya disesuaian dengan situasi. Dalam pelaksanaan tersebut siswa dituntut aktif belajar dengan mengobservasi menginterpretasi berkolaborasi dan diusahakan mampu memahami sendiri wacana yang dibaca sesuai dengan skemata yang dimiliki dan perspektif yang dipakai untuk menginterpretasi bacaan tersebut.
Pada umumnya pembelajaran membaca diawali dengan guru menentuan bahan bacaan. kemudian secara klasikal guru memerintah siswa membaca bahan bacaan yang ditentukan selanjutnya siswa diminta membaca secara individual. Setelah itu guru menugasi siswa untuk menjawab peratanyaan secara tertulis tentang isi bacaan yang terdapat dalam bacaan. Hasil jawaban tersebut digunakan sebagai penilaian hasil membaca pemahaman siswa. Hasil pemahaman saat baca diketahui hasilnya sangat baik. Namun hasil pasca baca guru tidak dapat melakukan pelacakan hasilnya dengan baik. Hal tersebut dikarenakan jumlah siswa dalam kelas tersebut sangat besar sedangkan waktu yang tersedia sangat sedikit.
Usaha untuk mengoptimalkan pembelajaran membaca pemahaman di MI terteliti perlu dilakukan penelitian tindakan dengan pendekatan konstruktivisme yang diakui telah memiliki kelebihan seperti tersebut di depan. Oleh karena itu penelitian ini di lakukan dengan harapan mampu mengatasi hambatan guru dan siswa dalam pembelajaran membaca di kelas V MI RH Samb. Kidul Kotaanyar Probolinggo
B. Rumusan Masalah dan Tujuan
Berdasarkan uraian latar belakang di atas maka masalah yang diteliti adalah "bagaimana menggunakan pendekatan konstruktivisme dalam pembelajaran membaca pemahaman di kelas V MI Raudlatul Hasaniyah Sambirampak Kidul Kotaanyar Probolinggo Jatim". Kemudian berdasarkan masalah tersebut maka tujuan yang ingin dicapai oleh Penulis adalah mendeskripsikan dan menggembangkan penggunaan pendekatan konstruktivisme dalam pembelajaran membaca pemahaman kelas V di MI Raudlatul Hasaniyah sambirampak Kidul Kotaanyar Probolinggo Jawa Timur
C. Manfaat
Adapun manfaat yang dapat diambil dari penelitian ini adalah (1) manfaat teoritis yaitu dapat memberikan sumbangan bagi teori pembelajaran bahasa lndonesia di MI khususnya pembelajaran pemahaman. (2) sedangkan manfaat praktis yaitu bagi guru pendekatan ini dapat bermanfaat sebagai masukan pengetahuan dan pengalaman praktis dalam melaksanakan pembelajaran membaca pemahaman serta bagi peneliti bermanfaat sebagai masukan pengetahuan dan dapat membandingkannya dengan pendekatan lain serta dengan berbagai kemungkinan penerapannya.
D. Sistematika Penulisan
Sistematikan penulisan penelitian ini adalah sebagai berikut: bab pertama pendahuluan. Bab ini membahas tentang rasionalisasi atau yang melatar belakangi adanya penelitian, rumusan masalah dan tujuan penelitian serta manfaat penelitian.
Bab Kedua adalah Landasan Teoretis. Bab ini membahas tentang konsep-konsep yang meliputi: konsep konstruktivisme, konsep perkembangan kognitif dan konsep tentang membaca pemahaman.
Bab Ketiga adalah Metode Penelitian yang meliputi: rencana penelitian, kegiatan prapenelitian, kegiatan pelaksanaan penelitian, tahap pengamatan, tahap refleksi, pasca penelitian, data dan sumber data, serta teknik pengumpulan data.
Bab Keempat Pembahasan/Analisis.
Bab Kelima Kesimpulan dan Rekomendasi

Senin, 25 Februari 2008

POTRET PENDIDIKAN ANAK PENGUNGSI (Studi di PP Zainul Hasan Genggong Pajarakan Probolinggo Jawa Timur)

Pada sesi ini saya akan mencoba mendeskribsikan melalui research kondisi sebagian kecil anak-anak bangsa Indonesia yang nota bene merupakan penentu corak bangsa ini di masa yang akan datang. Mereka adalah anak-anak bangsa yang menjadi korban kekerasan konflik horisontal di Sambas Kalimantan Barat dan Sampit Kalimantan Tengah.A. Makna Dan Tuntutan Pendidikan Bagi Anak Pengungsi Pendidikan bagi anak-anak pengungsi merupakan hal yang sangat penting untuk menjamin perkembangan, kelangsungan hidup dan masa depan mereka. Pendidikan adalah usaha sadar untuk menyiapkan peserta didik (santri) melalui kegiatan bimbingan, pengajaran, dan/atau latihan bagi peranannya di masa yang akan datang. Setiap anak seperti anak-anak pengungsi Sambas dan Sampit yang ada di Pesantren Zainul Hasan berhak memperoleh pendidikan pada tahap manapun dalam perjalanan hidupnya. Pendidikan dapat diperoleh baik melalui jalur pendidikan formal maupun jalur pendidikan non-formal.Anak-anak pengungsi dalam lingkungan pendidikan mempunyai berbagai hak, yaitu: hak mendapatkan perlakuan sesuai dengan bakat, minat, dan kemampuan; hak mengikuti program pendidikan yang bersangkutan atas dasar pendidikan berkelanjutan, baik untuk mengembangkan kemampuan diri maupun untuk memperoleh pengakuan tingkat pendidikan tertentu yang telah dibakukan; hak mendapat bantuan fasilitas belajar, beasiswa, atau bantuan lain sesuai dengan persyaratan yang berlaku; hak pindah ke satuan pendidikan yang sejajar atau yang tingkatnya lebih tinggi sesuai dengan persyaratan penerimaan peserta didik pada satuan pendidikan yang hendak dimasuki; hak untuk memperoleh penilaian hasil belajar; hak menyelesaikan program pendidikan lebih awal dari waktu yang ditentukan; dan hak mendapat pelayanan khusus sebagai anak pengungsi.Di samping itu, setiap mereka memiliki kewajiban-kewajiban untuk mematuhi semua peraturan yang berlaku; untuk menghormati tenaga kependidikan; untuk ikut memelihara sarana dan pra-sarana serta kebersihan, ketertiban dan keamanan satuan pendidikan yang bersangkutan. Tuntutan dan kewajiban belajar bagi anak khususnya anak-anak pengungsi Muslim Madura di Pondok pesantren Zainul Hasan Genggong adalah didasarkan pada dasar hukum tertinggi dalam Islam yaitu Al-qur'an dan hadits diantara firman Allah swt yang menerangkan hal ini adalah: يرفع الله الذين امنوا منكم والذين اوتوا العلم درجاتArtinya: Allah akan mengangkat orang-orang yang beriman dan orang-orang yang mempunyai ilmu beberapa derajat.فلولانفر من كل فرقة منهم طائفة ليتفقهوا في الدين ولينذروا قومهم اذارجعوا اليهم لعلهم يحذرونArtinya: Maka hendaklah sebagian kelompok dari mereka untuk berangakat belajar/memahami agama (Islam) dan memberikan peringatan kepada kaumnya jika kembali/pulang kepada mereka barangkali mereka termasuk orang yang mendapat peringatan (QS. Al Taubah.122).Sedangkan hadits-hadits yang menjelaskan hal tersebut adalah:اطلبواالعلم من المهد الى اللهدArtinya: Hendaklah kamu sekalian menuntut ilmu (sejak) mulai di pangkuan ibu sampai ke liang lahat.طلب العلم فريضة على كل مسلم و مسلمةArtinya: Menuntut ilmu adalah wajib bagi setiap orang Islam laki-laki dan perempuanAdapun dasar hukum lain yang turut melandasinya adalah Undang-Undang Dasar 1945 pasal 31 ayat 1, 2 dan 3 yang berbunyi: 1) Setiap warga Negara berhak mendapat pendidikan. 2) Setiap warga negara wajib mengikuti pendidikan dasar dan pemerintah wajib membiayainya. 3) pemerintah mengusahakan dan menyelenggarakan satu sistem pendidikan nasional yang meningkatkan keimanan dan ketaqwaan serta akhlaq mulia dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa yang diatur dengan undang-undang.Selain itu, juga dikuatkan oleh pernyatakan Perserikatan Bangsa-Bangsa Untuk Urusan Kemanusiaan (OCHA) yang tertuang dalam Prinsip-Prinsip Panduan Bagi Pengungsi Internal (Internal Displaced Person), prinsip 23 sebagai berikut: 1) Setiap manusia memiliki hak atas pendidikan. 2) Untuk mewujudkan hal ini bagi para pengungsi internal, fihak-fihak berwenang yang terkait harus memastikan bahwa pengungsi-pengungsi internal tersebut, khususnya pengungsi anak-anak menerima pendidikan, yang pada tingkat dasar harus gratis dan diwajibkan, pendidikan harus diselenggarakan dengan menjunjung tinggi identitas budaya, bahasa dan agama. 3) Harus dilakukan upaya-upaya khusus untuk memastikan peran serta penuh dan setara dari kaum perempuan dan anak-anak perempuan dalam program-program pendidikan. 4) Prasaran dan sarana pendidikan dan pelatihan harus disediakan bagi para pengungsi internal, khususnya kaum remaja adan perempuan yang tinggal didalam kamp atau tidak, sesegera mungkin begitu keadaan memungkinkan.B. Bentuk Pendidikan Anak-Anak Pengungsi di Pesantren Zainul HasanPendidikan anak-anak pengungsi di Pesantren Zainul Hasan adalah pendidikan totalitas, pendidikan ini bukan hanya pendidikan yang berorientasi pada kognitif atau mengisi otak anak dengan ilmu-ilmu agama (Islam) dan ilmu-ilmu umum semata, tetapi juga pendidikan hati yang dilakukan melalui praktik/pengamalan ilmu, yang kemudian dikenal dengan cara riyadlah. Dalam pendidikan yang berorientasi pada kognitif dilaksanakan dalam bentuk pengajian-pengajian, pendidikan diniyah klasikal dan pendidikan sekolah melalui beberapa metodenya yang terkenal yaitu: metode weton, metode bandongan, metode ceramah, metode hafalan dan sebagainya, sedangkan dalam pendidikan hati (rohani) dilaksanakan dalam bentuk pemberian bacaan-bacaan Al qur’an, wirid dan pengamalan ilmu-ilmu syari’ah dalam kehidupan sehari-hari. Dari praktek keseharian (ilmu syariah dan thariqat) inilah, maka anak-anak pengungsi yang merupakan sub dari masyarakat Pesantren Zainul Hasan terbentuk model kehidupan masyarakat tersendiri yang berbeda dengan masyarakat di luar pesantren. Berangkat dari sekilas uraian di atas, maka pendidikan anak-anak pengungsi di Pesantren Zainul Hasan dapat dikategorikan menjadi tiga bagian yaitu: Pendidikan pesantren, pendidikan sekolah, dan pendidikan hati.1. Pendidikan Pesantren Bagi Anak-Anak Pengungsi Pendidikan pesantren yang dimaksud adalah suatu bentuk pendidikan tradisional yang melibatkan kiai atau ustadz (sebagai pendidik) dan anak-anak pengungsi (sebagai santri/peserta didik) dalam suatu interaksi edukatif di musholla/masjid dengan materi dan metode klasik (tradisional).Pendidikan ini sebagaimana pendidikan pesantren lainnya merupakan suatu sistem yang terdiri dari beberapa unsur utama yaitu: santri, kiai atau ustadz, pengajaran kitab kuning dan Al qur'an, masjid atau musholla sebagai tempat berlangsungnya pendidikan dan pondok atau asrama sebagai tempat tinggal anak-anak pengungsi/santri. Untuk lebih lengkapnya berikut ini akan diuraikan secara spesifik beberapa elemen pesantren diatas. 1.1. Anak-Anak Pengungsi (sebagai Santri di Pesantren Zainul Hasan)Pada mulanya anak-anak yang menjadi korban konflik Sambas dan Sampit ini berstatus sebagai anak-anak pengungsi, tapi setelah mereka ditampung di Pondok Pesantren Zainul Hasan Genggong status mereka secara otomatis berubah menjadi santri (dalam bahasa Madura disebut santre'h) sebagaimana layaknya predikat yang disandang oleh anak-anak lain yang belajar di tempat tersebut.Kata "santri" di dalam berbagai referensi diartikan sebagai orang yang mencari ilmu agama Islam di pesantren, baik yang menetap maupun tinggal di rumahnya masing-masing. sedangkan di pesantren ini, kata "santri" tidak sesederhana itu, melainkan sebuah singkatan yang mempunyai makna khusus yang harus dipegang teguh dan diamalkan dalam kehidupan sehari-hari, yaitu: S = Sopan Santun artinya para santri harus mempunyai prilaku atau akhlak yang baik prinsip ini didasarkan pada hadits nabi: “Innamaa bu’itstu liutammima makaarim al akhlaq” dan “wa khaliqin naasa bi khuluqin hasanin” (HR. Imam Ahmad dan Al Turmudzi dan Al Hakim, dari Abi Dzarrin. Dan HR. Ahmad dan Al Turmudzi. Dari Mu’adz ra).A = Ajeg atau Istiqamah artinya setiap santri harus memiliki sikap yang teguh pendirian, tetap beramal shalih dan disiplin dalam menjalankan ritual keagamaan seperti shalat pada waktunya dengan berjama’ah. Prinsip ini didasarkan pada Al qur’an: “wa an lawistaqaamu ‘ala al thariiqati la asqainaahu ma an ghadaqa” (QS. Al Jin: 16) dan hadits nabi: “Qul amantu billahi tsumma istaqim” (HR. Muslim dan Al Turmudzi dan Al Nasaa’I dan Ibnu Majah. Dari Sufyan bin Abdillah al Tsaqafi).N = Nasihat artinya semua santri harus mendengarkan dan melaksanakan segala nasihat yang terkandung dan diajarkan dalam agama Islam. Prinsip ini didasarkan pada Al qur’an: “wa uballighukum risaalata rabbi wa ana lakum naasihun amin” (QS. Al A’raf: 68) dan hadits nabi: “Al diinu al nashihah” (HR. Al Turmudzi al tarikh. Dari Tsauban al Bazzaz, dari Ibnu Umar.T = Taqwallah artinya setiap santri harus menjalankan apa yang diperintahkan oleh Allah dan meninggalkan apa yang dilarang oleh Allah “Imtitsaalu awaamirillahi wajtinaabu nawaahiihi.” Prinsip ini didasarkan pada Al Qur’an: “Ya ayyuha al ladziina amanuu ittaqullaha haqqa tuqaatihi wa laa tamuutunna illa wa antum muslimun.” (QS. Ali Imran; 102) dan hadits nabi: “Ittaqullaha haitsumaa kunta” (HR. Ahmad fi sanadihi dan Al Turmudzi dan Al Hakim dan Al Baihaqi)R = Ridlallah artinya setiap santri Pesantren Zainul Hasan di dalam melakukan aktivitas kesehariannya khususnya yang bersifat ritual, harus selalu diiringi dengan (niat atau tujuan) mencari keridlaan Allah. Hal ini didasarkan pada firman Allah swt: “ Wa ridlwaanum min Allahi Akbar” (QS. Al Taubah; 72) dan sabda nabi: “ Maa min muslimin au insanin au ‘abdin yaquulu hiina yamsi wa hiina yushbihu: radliitu billahi rabban wabil islaami diinan wabi muhammadin nabiyyan illa kaana haqqan ‘ala Allahi an yurdiyahu yaumal qiyaamati.” (fi al zawaaidi isnaaduhu shahiihun, rijaaluhu tsiqatun wa ibnu Majah); danI = Ikhlash lillahi ta’ala artinya bahwa segala perbuatan santri Pesantren Zainul Hasan Genggong (khususnya yang bersifat ritual) harus selalu didasari oleh jiwa yang ikhlas-karena Allah ta’ala semata-bukan karena orang lain atau lainnya. Prinsip ini didasarkan pada firman Allah swt: “Wamaa umiruu illa liya’budu Allaha mukhlishiina lahu al diina” (QS. Al Bayyinah; 5) dan maqaalah al Marhum al ‘arif billah KH. Mohammad Hasan: “ Shahhih ‘a’maalaka bil ikhlash wa shahhih ikhlashaka bi laa haula wa laa quwwata illa billah al ‘aliyyi al ‘adziimi” a. Motivasi Monduk di PesantrenIstilah "monduk" bagi anak-anak pengungsi Sambas dan Sampit etnis Madura bukanlah suatu hal yang asing, sebab istilah ini sering didengar sebelumnya baik ketika mereka belajar mengaji Al-qur'an pada seorang kiai di musholla dimana ia tinggal ataupun oleh karena banyaknya masyarakat tersebut yang belajar di pesantren, sehingga tidak heran kalau tradisi pesantren seperti memakai sarung dan kopiyah dibawa ke masyarakat dan bahkan menjadi budaya tersendiri..Hidup di pesantren sebagaimana difahami adalah menuntut kederhanaan dan disiplin yang ketat. Keadaan ini tentu dapat dirasakan sebagai suatu hal yang cukup berat, terutama bagi anak-anak pengungsi dimana kondisi mereka sangat memprihatinkan baik phisik maupun psikis seperti trauma dan shok, hal ini terlihat dari kegiatan mereka sehari-hari yang selalu menyendiri, bangun tengah malam dengan penuh ketakutan, berbicara dengan terbata-bata dan sebagainya. Namun beban itu akan terasa ringan apabila dipikul dengan tanpa paksaan, diberikan bimbingan secara permanent dan dilandasi dengan kesadaran diri yang kuat.Bagi anak-anak pengungsi yang belajar (ditampung) di pondok pesantren Zainul Hasan Genggong, ada kecenderungan bahwa pada umumnya mereka memasuki pesantren tersebut didorong oleh dorongan orang lain termasuk famili dan kiai dan sedikit sekali dorongan dari diri sendiri, orang tua dan teman sebaya. Kecenderungan ini nampak dari jawaban anak-anak pengungsi yang kami wawancarai dengan bahasa Madura sebagai berikut: "……Kauleh monduk 'e ponduk Zainul Hasan Ginggung ka'dintoh polanah 'eyajek anom beden kauleh se' gi' akulieh 'e Jogja…."Maksudnya adalah "…saya mondok di Pondok Pesantren Zainul Hasan Genggong ini, karena saya diajak paman saya yang sedang kuliah di Jogja….". Memang, secara historis, inisiatif pengiriman anak-anak pengungsi ke pesantren Zainul Hasan Genggong pada awalnya berasal dari teman kuliah penulis yang nota bene famili dekat (paman) dari beberapa anak pengungsi, kemudian inisiatif ini direalisasikan oleh beberapa pengurus PMII (Pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia) cabang Sleman Yogyakarta dengan cara menemui beberapa pimpinan Pesantren Zainul Hasan yaitu Ny Hj Diana Susilowati, KH Mutawakkil Alallah dan kiai-kiai yang lain. Setelah terjadi kesepakatan antara pengurus PMII dan pihak pimpinan, maka berdasarkan kesepakatan pengiriman anak-anak pengungsi dilakukan dengan tiga tahap, yaitu tahap pertama tanggal 17 Agustus 1999, tahap kedua tanggal 1 Oktober 1999 (berasal dari pengungsi Sambas yang mengungsi di Kabupaten Sampang Madura), dan tahap ketiga tanggal 1 Mei 2001 (berasal dari pengungsi Sampit).a.Tujuan Mencari Ilmu di PesantrenBerdasarkan interview dengan sejumlah (20 responden) anak-anak pengungsi Sambas dan Sampit di Pondok Pesantren Zainul Hasan Genggong, maka dapat disimpulkan bahwa tujuan mereka mencari ilmu di pesantren tersebut adalah:1.Menjadi orang yang ahli dalam ilmu agama (ulama' atau kiai);2.Mencari ilmu yang bermanfaat semata; dan3.Menjadi tokoh masyarakat Dari ketiga jawaban di atas, ternyata tujuan yang paling diidam-idamkan oleh mereka adalah ingin menjadi orang yang 'alim atau kiai, sebab bagi mereka orang yang 'alim atau kiai akan memperoleh kemudahan dari Allah swt. dalam segala urusan baik yang terkait dengan urusan dunia maupun urusan akhirat, sedangkan dua tujuan lainnya sedikit yang menginginkan, karena sudah tercakup dalam tujuan yang pertama, yakni bahwa setiap orang yang 'alim sudah barang tentu mempunyai ilmu yang bermanfaat dan menjadi tokoh masyarakat.Ketiga tujuan itu tidak seperti tujuan proses belajar mengajar sebagaimana TPU (Tujuan Pembelajaran Umum) atau TPK (Tujuan Pembelajaran Khusus) yang dapat diketahui hasilnya setelah satu mata pelajaran selesai, tetapi lebih merupakan suatu hasil atau tujuan dari serangkaian proses yang dapat dilihat setelah anak (santri) pulang ke rumah masing-masing, sementara santri pengungsi sendiri pada saat ini masih dalam tahap awal (proses) belajar.Oleh karena itu, tercapai tidaknya tujuan santri pengungsi di pesantren Zainul Hasan Genggong tidak dapat diketahui secara dini, apalagi mereka masih dalam transisi mental/psikis akibat konflik antar etnis. 1.2.Kiai dan Ustadz Sebagai Pendidika. Kyai sebagai PendidikKiai merupakan elemen yang paling esensial dari suatu pondok pesantren. Penghormatan masyarakat, terutama masyarakat pesantren kepadanya sangat tinggi. Doktrin kekyaian yang sudah mengakar dan melekat secara inhern dalam kehidupan pesantren adalah menyangkut keberadaan kyai sebagai ulama pewaris para nabi. Hal ini dapat mengakibatkan pengkultusan kepada kyai dalam segala hal. Sebagaimana dijelaskan oleh Horikoshi yang diikuti oleh Arifin bahwa kyai memiliki paling tiga peran, yaitu sebagai pemangku masjid dan madrasah, sebagai pengajar dan pendidik, juga sebagai ahli dan penguasa hukum Islam. Dari ketiga peran tersebut, mengajar dan mendidik merupakan peran utama yang dimiliki oleh kyai. Dengan mengajar dan mendidik, seorang kyai dapat memelihara keyakinan dan nilai-nilai kultural, bahkan tidak jarang terjadi seorang kyai menjadi personifikasi dari nilai-nilai itu sendiri.Sebagai seorang pengajar dan pendidik, seorang kiai biasanya selalu meluangkan waktunya untuk mendidik santri, dengan mengadakan pengajian kitab kuning di masjid atau di kediamnya. Bagi para santri mengaji kitab kuning pada kyai berbeda dengan mengaji pada ustadz dan sejenisnya, sebab mereka akan memperoleh dua hal yaitu ilmu agama (Kitab kuning) dan barokah kyai. b. Ustadz sebagai PendidikTerma “ustadz” dalam lingkungan pesantren, khususnya Pesantren Zainul Hasan Genggong mungkin merupakan hal yang lebih menonjol dan lebih sering digunakan bila dibandingkan dengan penggunaan istilah lain yang semakna dengannya, seperti istilah “pak guru” atau “ibu guru.” Hal itu terjadi, karena pesantren ingin mempraktekkan, menciptakan dan membudayakan tradisi baru yang bersumber dari referensi-referensi berbahasa Arab (terutama kitab kuning), baginya bahasa Arab adalah media untuk memahami ajaran agama Islam secara murni, keberhasilah seorang santri biasanya diukur dengan sejauh mana kemampuannya menguasai bahasa Arab, bila seorang santri mampu menguasai bahasa Arab (kitab kuning), maka ia dianggap telah berhasil dalam pendidikannya di pesantren, namun sebaliknya, jika seorang santri tidak dapat menguasai bahasa Arab, maka ia dianggap telah gagal dalam pendidikannya.Sedangkan di dalam lingkungan komplek Zainur Rahmah, para ustadz adalah satu-satunya pendidik yang memberikan bimbingan, pengajian, pengarahan dan latihan pada anak-anak pengungsi sebab kiai di komplek ini tidak memberikan pengajian. Pada hakekatnya mereka masih berstatus sebagai santri senior yang mempunyai peran yang sangat besar, di samping tugas mereka yang paling utama yaitu mendidik anak-anak pengungsi, mereka juga menjaga para santri tersebut selama 24 jam, untuk itulah, maka mereka diberi kamar khusus yang bersebelahan dengan kamar santri sehingga hubungan antara santri dan ustadz sebagaimana layaknya hubungan antara kakak dan adik, ada komunikasi dan tidak ada dinding pemisah, dengan kata lain hubungan keduanya mendukung proses pendewasaan anak-anak pengungsi (santri). 1.3. Kurikulum (Pengajaran Kitab Kuning dan Al qur'an)Telah dijelaskan di muka bahwa Pesantren Zainul Hasan menyelenggarakan dua jenis pendidikan yaitu: pendidikan pesantren (tradisional) dan pendidikan formal (modern). Jenis pendidikan pesantren bersifat non formal, hanya mempelajari ilmu agama (Islam) yang bersumber pada kitab-kitab salaf (kitab gundul) dan tulis baca Al-qur'an, sedangkan pendidikan formal menggunakan kurikulum campuran, pesantren, Departemen Agma Republik Indonesia dan Departemen Pendidikan Nasional Republik Indonesia.Terkait dengan kurikulum pendidikan pesantren dapat dikemukakan bahwa pendidikan tersebut berdasarkan pada tingkat kemudahan dan kompleksitas ilmu atau masalah yang dibahas dalam kitab, jadi ada tingkat rendah, tingkat menengah dan tingkat lanjut. Untuk tingkat rendah kebanyakan diikuti oleh santri yang sekolah di Madrasah Ibtidaiyah, Sekolah Menengah Pertama dan Sekolah Menengah Umum, untuk tingkat menengah diikuti oleh santri yang sekolah Madrasah Tsanawiyah dan Madrasah Aliyah, sedangkan untuk tingkat tinggi kebanyakan diikuti oleh santri yang belajar di Madrasah Aliyah dan Perguruan Tinggi, tapi semua itu tergantung pada kemampuan dan kemauan santri yang bersangkutan, hal itu karena yang mengetahui kemampuan dan memiliki kemauan adalah masing-masing santri yang dimaksud.Sedangkan di komplek Zainur Rahmah sebagai sub atau bagian dari Pesantren Zainul Hasan secara umum mengikuti program atau kurikulum yang ada di pesantren induk (Pesantren Zainul Hasan), namun demikian, pengurus komplek secara khusus membuat program dan jadwal kegiatan/pengajian tersendiri.Kurikulum diatas, dibuat dan diberlakukan bagi anak-anak pengungsi yang pendidikannya pada tingkat dasar, sedangkan bagi anak-anak pengungsi yang pendidikannya menengah (setingkat MTs) dan tinggi (setingkat MA), maka diberi kebebasan untuk belajar atau mengaji di pondok induk (Masjid Barokah) bersama santri-santri lain yang bukan pengungsi. 1.4. Metode PendidikanSalah satu elemen penting dalam pendidikan pesantren adalah adanya metode/cara penyajian materi pelajaran yang khas dan masih tradisional, yaitu metode bandongan. Metode ini adalah sebuah metode dimana seorang kiai atau ustadz (sebagai badal kiai) membacakan dan menjelaskan isi sebuah kitab dengan dikerumuni olah sejumlah santri, masing-masing santri memegang kitabnya sendiri, mendengar dan mencatat makna yang disampaikan kiai di bawah setiap lafadz atau kalimat dengan tulisan miring, sedangkan keterangannya ditulis di pinggir kitab itu atau pada lembaran lain. Jumlah santri tidak dapat ditentukan dengan pasti, namun merupakan suatu kalompok dihadapan atau di sekeliling penyaji materi. Sedangkan metode sorogan adalah santri menyodorkan sebuah kitab kepada kiai, kemudian kiai atau ustadz memberikan tuntunan bagaimana cara membacanya, menghafalkannya, dan apabila telah meningkat, juga tentang makna dan tafsirnya lebih mendalam. Metodik ini diakui paling intensif karena dilakukan seorang demi seorang dan ada kesempatan untuk tanya jawab secara langsung.Demikian halnya dengan pendidikan pesantren bagi anak-anak pengungsi di komplek Zainur Rahmah Pesantren Zainul Hasan Genggong, metode yang dipakai dalam penyajian kitab kuning adalah metode bandongan, selain itu juga digunakan metode hafalan, metode demonstrasi dan metode halaqah dan metode-metode lain sesuai dengan materi palajaran yang telah ditentukan.Melihat keterangan di atas maka dapat dijelaskan di sini bahwa metode atau cara penyampaian materi kepada santri di komplek Zainur Rahmah Pesantren Zainul Hasan Genggong bermacam-macam sesuai dengan materi yang akan disampaikan, yaitu:1.Metode Bandongan, metode ini sudah banyak disinggung diatas.2.Metode Halaqah maksudnya para santri membuat suatu lingkaran kecil 5-10 orang, kemudian satu di antara mereka membacakan materi (biasanya membaca Al qur'an dan sholawat) sementara yang lain menyimaknya dengan seksama, sesekali para santri yang menyimak memberikan teguran jika ada kesalahan dari pembaca, demikian cara ini dilakukan secara bergiliran.3.Metode Hafalan adalah suatu metode yang digunakan untuk melatih daya ingat. Metode ini biasanya digunakan untuk materi yang bernadzam/syi'iran, surat-surat pendek dalam Al qur'an, bacaan-bacaan Arab pendek seperti kalimat istighfar, tahlil, tahmid, istighasah dan lain-lain.4.Metode Ceramah adalah suatu cara penyampaian materi kepada santri dengan cara seorang ustadz (atau santri yang menjadi penceramah) memberikan penjelasan atau uraian materi secara lisan di depan para santri dengan panjang lebar, sedangkan para santri mendengarkan dan menulis apa yang dijelaskan oleh penceramahMetode Demontrasi adalah suatu penyampaian materi dengan mempraktekkan di depan santri atau cara pengajaran yang memerlukan alat bantu tertentu agar ilmu yang disampaikan dapat segera difahami oleh santri. Santri tidak hanya mendengar, tetapi juga melihat mutu proses yang diperagakan seperti demo membaca Al qur'an, membaca diba'iyah yang benar dan lain-lain.. 1.5. Musholla sebagai Tempat PendidikanMusholla adalah sebuah kata tempat (isim makan) bentukan dari kata benda/masdar "shalat" yang mempunyai arti sembahyang, do'a dan bacaan shalawat. Sedangkan secara terminologi musholla diartikan sebagai tempat untuk melaksanakan sholat baik shalat sendirian maupun shalat berjama'ah lima waktu (Dzuhur, Ashar, Maghrib, Isya' dan shubuh).Di komplek Zainur Rahmah Pesantren Zainul Hasan genggong terdapat sebuah bangunan musholla dengan ukuran 10x10 meter. Musholla yang bernama Zainur Rahmah ini dibangun, selain untuk tempat shalat lima waktu bagi anak-anak pengungsi dan anak-anak yatim piatu, juga untuk kepentingan sebagai tempat pendidikan pesantren seperti pengajian kitab kuning, tulis baca Al qur'an, latihan khitobah atau orasi dan lain-lain. 2. Pendidikan Formal Bagi Anak-Anak PengungsiA. Jenis-Jenis Pendidikan FormalSama halnya dengan para santri lain yang mondok di Pesantren Zainul Hasan Genggong, anak-anak pengungsi yang ditampung di tempat ini juga diberi kesempatan untuk menikmati pendidikan formal (sekolah atau madrasah), malah pendidikan yang satu ini diwajibkan oleh pimpinan pondok dengan alasan demi masa depan mereka.Pendidikan yang disediakan bagi anak-anak pengungsi disesuaikan dengan usia anak dan jenjang pendidikan mereka sebelum ditampung di pesantren ini atau atas dasar keinginan anak sendiri. Dilihat dari sisi usia anak, berdasarkan data yang tercantum dalam dokumen konplek Zainur Rahmah Pesantren Zainul Hasan, usia mereka berkisar antara 7 tahun sampai 19 tahun.Klasifikasi usia ini didasarkan pada usia pendidikan formal yang menunjukkan tingkat atau jenjang pendidikan tertentu, yaitu usia 7 -12 tahun untuk sekolah dasar (SD/MI), usia 13 -15 tahun untuk jenjang SLTP/MTs dan usia 16 -18 atau 19 tahun untuk jenjang SMU atau MA.Namun demikian, kenyataanya lain dengan apa yang terjadi pada pendidikan anak-anak pengungsi, usia mereka lebih tua dari tingkat pendidikan yang semestinya, bahkan ada anak yang seharusnya belajar di tingkat SMU kelas akhir atau usia kuliah (umur 19 tahun), sementara ia masih duduk/belajar di tingkat MTs. Hal ini terjadi karena beberapa alasan, yaitu: 1) kurikulum pendidikan formal (seperti MI, MTs dan Aliyah) di pesantren Zainul Hasan termasuk ketegori tingkat tinggi, bila dibandingkan dengan pendidikan agama yang setingkat; dan 2) Anak-anak pengungsi memasuki pendidikan formal yang tidak sejurusan dengan pendidikan sebelumnya; 3) Pendidikan anak-anak pengungsi sebelumnya, tingkat prosentase pelajaran agamanya lebih rendah dari pendidikan formal yang dimasuki di pesantren ini. Sekedar sebagai perbandingan tantang kasus di atas dapat dilihat pada materi yang diajarkan di MTsN dan MTs Zainul Hasan. Pada MTsN untuk materi Fiqh, pada umumnya menggunakan buku diktat Departemen Agama RI yang menggunakan bahasa Indonesia dengan bahan pelajaran yang masih sangat dasar, sedangkan di MTs Zainul Hasan Genggong, untuk materi Fiqh menggunkan kitab-kitab klasik yang tidak berharkat, tidak ada tanda baca dan tidak ada terjemahannya seperti kitab fathul qarib, fathul mu'in dan bahkan untuk kelas akhir menggunakan kitab fathul wahab. B. Tujuan Anak Belajar di Pendidikan FormalAdapun tujuan mereka belajar di pendidikan formal adalah terkair erat dengan jenis lembaga pendidikan yang dimasuki. Bagi anak-anak pengungsi yang masuk pendidikan madrasah seperti Madrasah Ibtidaiyah, Madrasah Tsanawiyah dan Madrasah Aliyah adalah untuk menjadi orang yang menguasai ilmu agama (Islam), menjadi guru agama Islam, ingin menjadi tokoh masyarakat/ulama' dan sebagian lagi ingin memperoleh bekal untuk kelak dapat melanjutkan pendidikan ke tingkat yang lebih tinggi. Sedangkan anak-anak pengungsi yang belajar di lembaga pendidikan umum seperti Sekolah Dasar, Sekolah Menengah Pertama dan Sekolah Menengah Umum adalah ingin menjadi orang yang berpengetahuan luas, menjadi guru negeri (PNS) dan sebagian lagi ingin menjadi perawat dan dokter. Penentuan tujuan tersebut, setelah ditanya ulang pada anak yang bersangkutan dapat disimpulkan sebagai berikut: 1) pengaruh lingkungan pondok pesantren itu sendiri, seperti anak yang ingin menjadi perawat adalah karena di Pondok Pesantren Zainul Hasan menyelenggarakan Pendidikan Akademi Keperawatan (AKPER) dan 2) cita-cita anak sendiri yangt dibawa sejak masa kecilnya. C. Kegiatan Belajar Mengajar Suatu kegiatan belajar mengajar (KBM) akan terjadi bilamana ada interaksi edukatif antara peserta didik (termasuk anak-anak pengungsi) dengan pendidik (ustadz). Kegiatan seperti berlangsung sejak jam 07.15 WIB sampai jam 12.30 WIB bahkan untuk pendidikan program unggulan sampai jam 16.00 WIBBagi anak-anak pengungsi yang belajar di pendidikan formal Pesantren Zainul Hasan diperlakukan sama seperti anak-anak lain, mereka memperolah hak-haknya sebagaimana mestinya seperti memperoleh materi sesuai program yang direncanakan, memperoleh hak atas penilaian, hak untuk berkreasi, hak untuk berprestasi dan hak-hak yang lain. Di samping itu mereka juga tidak diperlakukan secara khusus sebagaimana yang dianjurkan oleh para psikolog, sebab mereka itu sama. Memang, menurut salah satu ustadz MI Asy Syafi'iyah PZH, pada mulanya anak-anak pengungsi ini selalu terlihat sendirian, mender, tidak mau bergaul dengan yang lain, namun hal itu hanya bersifat sementara, oleh karena mereka dalam proses adaptasi dan tahap rehabilitasi mental secara bertahap. D. Beasiswa Bagi Anak PengungsiAnak-anak pengungsi yang menempuh studi di pendidikan formal Pesantren Zainul Hasan Genggong adalah tergolong anak-anak yang secara ekonomi kurang/tidak mampu dan pendidikannya terancam putus sehingga karenanya mereka diberi pendidikan gratis dan beasiswa. Kedua program ini khususnya program beasiswa, pada hakekatnya merupakan salah bentuk program yang ditempuh oleh beberapa pihak yang ingin menyelamatkan pendidikan anak usia sekolah, diantaranya adalah program pemerintah pusat, pemerintah Daerah Tingkat I Jawa Timur (dan Pemerintah Daerah Tingkat II Probolinggo) dan bantuan dari Jepang. Pemerintah pusat melaksanakan program ini melalui program Jaring Pengaman Sosial (JPS) dan Program Konpensasi Pengurangan Subsidi-Bahan Bakar Minyak (PKPS-BBM) atau yang lebih dikenal dengan istilah BKM (Bantuan Khusus Murid), sedangkan Pemerintah Dati I Jawa Timur dan Pemerintah Dati II Probolinggo melalui program Dana Bantuan Minimal untuk pembebasan SPP bagi anak usia sekolah dan bantuan Jepang malalui Program Hibah Jepang untuk maksud yang sama seperti di atas. Ketiga program ini intinya adalah agar siswa pada tingkat dasar dan menengah, yang berasal dari keluarga kurang/tidak mampu dapat mambiayai keperluan sekolahnya sehingga:1.Siswa tidak putus sekolah akibat kasulitan ekonomi;2.Siswa mempunyai kesempatan yang lebih besar untuk terus sekolah dan melanjutkan pendidikan ke jenjang berikutnya;3.Siswa khususnya perempuan dapat menyelesaikan pendidikan sekurang-kurangnya sampai dengan jenjang sekolah lanjutan pertama. Jumlah dana yang diberikan kepada siswa bervariasi berdasarkan jenjang pendidikan anak. Untuk MI (dan yang sederajat) adalah sebagai berikut: a) Pemerintah Pusat sebesar Rp. 10.000/bulan/anak, Pemerintah Daerah Tingkat I Jawa Timur dan Pemda Probolinggo sebesar Rp.15.000/bulan/anak, dan c) Pemerintah Jepang sebesar Rp. 10.000/bulan/anak. Sedangkan untuk tingkat MTs dan MA dan yang sederajat adalah sebesar Rp.20.000/bulan/anak untuk tingkat MTs dan Rp.25.000/bulan/anak untuk tingkat MA.3. Pendidikan Hati (Ruhani)Pendidikan ruhani maksudnya adalah bentuk pendidikan (amaliah batin) yang mengajarkan bagaimana anak didik atau santri melatih dan memperbaiki hatinya. Hal ini berbeda dengan kedua pendidikan sebelumnya yang lebih berorientasi pada pengetahuan atau kognitif anak dan amal lahir, sedangkan pendidikan ini lebih berorientasi pada aspek batin.Bagi anak-anak pengungsi yang mondok di pesantren ini, selain harus mengamalkan ilmu-ilmu lahir (seperti shalat dan puasa) yang didapat, juga diajarkan ilmu batin ini melalui pengamalan dzikir atau bacaan-bacaan tertentu dengan jumlah bacaan tertentu pula, tujuannya secara umum adalah untuk mendekatkan diri kepada Allah swt, sedangkan tujuan secara khusus adalah tergantung pada faedah atau fungsi dari masing-masing bacaan atau dzikiran.Berdasarkan penelitian penulis melalui observasi dan wawancara dengan sejumlah pengurus dan anak-anak pengungsi, bacaan-bacaan dzikir yang diamalkan santri adalah:a.Istighfar (Astaghfirullah al adzim alladzi la ilaha illa huwa…..) 3 xb.As salam (Allahumma anta al salam…..) 1 xc.Al Ikhlas (Qul huwa Allahu ahad ……) 3 xd.Al Falaq (Qul A'udzu birabbil falaq … ) 1 xe.Al Naas (Qul A'udzu birabbi al naas …) 1 xf.Ayat Kursi (Wa ilahukum ilahun wahidun la ilaha illa huwa al rahmaanu rahim……. Wasi'a kursiyyuhu al samawati …..) 1 xg.Tasbih (Subhanallah) 33 xh.Tahmid (Al hamdulillah) 33 xi.Takbir (Allahu Akbar) 33 xj.Tahlil (La Ilaha Illallah) 100 xk.Do'aBacaan-bacaan dan jumlah hitungannya di atas diambilkan dari sumber-sumber naqli yang rajih (kuat), dan dibaca bersama-sama (dengan mengeraskan dan kadangkala tanpa suara) pada setiap selesai shalat fardlu yaitu Dhuhur, Ashar, Maghrib, Isya' dan Shubuh. Menurut Syekh Muhyiddin dalam kitab "Al Adzkar" sebagaimana diriwayatkan oleh Ibnu Abbas bahwa berdzikir dengan mengeraskan suara merupakan tradisi yang terjadi sejak pada masa Rasulullah saw. Adapun maksud dari pengerasan suara tersebut adalah untuk mengajarkan kepada para makmum, dan apabila para makmum sudah faham, maka suaranya direndahkan. Selain bacaan-bacaan tersebut, bagi para santri yang sudah menguasai tulis-baca Arab khususnya al Qur'an juga dianjurkan mengamalkan surat-surat yang dibaca dan diamalkan oleh para pengasuh sebelumnya yaitu membaca surat-surat munjiyat (surat penyelamat) yang meliputi: surat al Sajadah, surat Yâsîn, surat al Dukhân, surat al Rahmân, surat Wâqi'ah, surat al Hadîd dan surat al Mulk, tujuan membaca surat-surat tersebut adalah 1) mendekatkan diri kepada Allah; dan 2) selamat di dunia dan akhirat.Untuk membaca amalan yang disebut terakhir ini, para santri diharuskan terlebih dahulu bertawassul dengan membaca surat al fatihah kepada: 1) Nabi Muhammad saw. 2) keluarga, sahabat Nabi Muhammad saw, para nabi dan rasul sebelum Nabi Muhammad saw dan para pengikut nabi Muhammad saw (dikenal dengan tabi'in dan tabi'i- al tabi'in); 3) para wali khususnya wali songo; 4) para masyayih yang memberikan amalan ini; dan 5) para pengasuh pesantren Zainul Hasan Genggong yaitu KH Muh. Hasan dan KH. Hasan Saifurridzal.Terlepas dari berbagai fungsi atau faedah bacaan baik dari dzikiran maupun surat-surat al Qur'an di atas, Allah swt. secara tegas di dalam al Qur'an menyatakan bahwa dengan berdzikir (ingat) kepada Allah swt. akan membuat hati si pembaca menjadi tenang sebagaimana firman Allah swt:الا بذكر الله تطمئن القلوب ......Artinya: "Ketahuilah bahwa dengan berdzikir (ingat atau menyebut-nyebut) Allah swt akan menenangkan hati…"demikian juga dengan membaca al Qur'an, Allah swt menjamin mereka kesembuhan baik bagi pembaca sendiri maupun bagi manusia pada umumnya sebagaimana firman Allah swt: وننزل من القراءن ما هو شفاء ورحمة للمؤمنين .......................Artinya: "Dan kami turunkan sebagian dari (ayat/surat) al Qur'an sebagai obat dan rahmat bagi orang-orang yang beriman ……….." (al ayat)Oleh sebab itu, berdzikir (ingat kepada Allah) dan membaca Al Qur'an adalah sangat relevan dan sangat membantu terhadap kesembuhan anak-anak pengungsi yang sedang mengalami goncangan jiwa, kehampaan, keputusasaan, tidak percaya diri, selalu berfikir pesimis, trauma dan gangguan-gangguan jiwa lain akibat perang antar etnis dan akibat pengungsian besar-besaran pasca konflik, sehingga mereka secara perlahan dan bertahap dapat berfikir secara positif, optimis dan menemukan jati dirinya seperti semula.Memang, pendidikan hati bagi anak-anak pengungsi sangat diperlukan sebab hati atau dalam istilah nabi disebut mudghah adalah merupakan kunci dan cermin dari kondisi seseorang, nabi bersabda:الا فان في الجسد مضغة فاذا صلحت صلح الجسد كله واذا فسدت فسد الجسد كله الا وهي القلب (الحديث)Artinya: "Ketahuilah bahwa di dalam jasad seseorang terdapat segumpal daging, jika daging itu baik, maka baiklah seluruh jasadnya dan apabila daging itu jelek atau rusak, maka rusaklah seluruh jasadnya, ketahuilah itulah hati."Ditinjau dari perspektif tasawwuf pada dasarnya pengamalan bacaan-bacaan sebagaimana disebutkan di atas merupakan cikal bakal dari tahapan seseorang memasuki alam thariqat yakni tingkat kedua setelah tingkat syari'at, namun secara formal dalam arti melalui proses bai'at dan tata aturan lainnya belum dilaksanakan sebab mereka masih dalam tahap belajar (ilmu syari'at).Pondok Pesantren Zainul Hasan sendiri sebagai instansi keagamaan (Islam) dan satu-satunya lembaga yang menjaga dan melestarikan tradisi Islam, menganut faham thariqat Al Qadairiyyah wa al Naqsyabandiyah. Thariqat ini, menurut keterangan KH. Sufyan (Mursyid thariqat) telah dianut sejak kepemimpinan pesantren generasi kedua yaitu KH. Muhammad Hasan dan masih dipertahankan sampai sekarang

PROBLEMATIKA PESANTREN (Sebagai Problem Pendidikan Kaum Pinggiran 1)

PengantarAlvin Toffler salah seorang ahli futurulogi dari negeri Paman Sam mengungkapkan bahwa masyarakat kini tengah memasuki bagian dari gelombang ketiga (the third wave), di mana setiap teknologi dapat mempengaruhi apa yang disebut dengan teknosfer, infosfer, sosiosfer dan psikosfer. Pada tataran teknosfer segala bentuk aktifitas manusia (masyarakat) sangat tergantung pada tehnologi elektronik (technotronic). Pada tingkatan infosfer, era informasi tidak lagi terikat pada lingkungan lokal ataupun nasional, tetapi bersifat global. Pada tataran sosiosfer, media elektronik di era informasi merupakan agen-agen sosial yang utama menggantikan peran orang tua, guru, pendeta, kyai dsb. Dan pada tingkatan psikosfer, era reformasi akan meninggalkan manusia yang bersifat magis, irrasional yang berorientasi pada masa lalu termasuk manusia positivistik rasional dan sebagai gantinya muncul manusia bijak yang terbuka dan berorientasi ke masa depan, supra religius dan naturalistik.Pandangan Alvin di atas, bila dicermati secara seksama rupa-rupanya mendekati kebenaran, hal itu dapat dibuktikan dengan melihat sejumlah realitas yang terjadi pada masyarakat. Mungkin sampel yang paling tepat adalah apa yang terjadi pada pesantren (sebagai mainstrem sesi ini). Disadari atau tidak, pesantren sebagai lembaga sosial keagamaan telah mengalami perubahan atau transformasi budaya yang mendasar (dan bahkan terjadi cultural shock pada masyarakat pesantren) sebagai akibat dari perkembangan dan kemajuan ilmu dan teknologi khususnya teknologi informasi dan teknologi komunikasi.Dalam konteks ini, pesantren memang berada pada posisi yang sulit, di satu sisi, ia dihadapkan pada kemajuan iptek yang semakin tidak terkendali, sementara di sisi lain, ia dituntut untuk menyelesaikan problem internal yang tak kunjung terpecahkan seperti problem demokratisasi (pendidikan) pesantren, emansipasi wanita (gender), problem sumber daya manusia (human resources) dan lain sebagainya.Problem-problem tersebut mengindikasikan bahwa pesantren harus terbuka dalam arti tidak menutup diri dari arus gelombang transformasi baik yang datang dari luar (eksternal) maupun yang datang dari dalam diri pesantren sendiri (internal), dengan demikian, pesantren dihadapkan pada posisi tengah yang terjadi tarik menarik antara sesuatu yang absolut, statis dan kolot (konservatif) dengan sesuatu yang selalu mengalami perubahan (transformatif) dan dinamis, antara dinul Islam yang bersumber dari Tuhan dengan budaya yang bersumber dari makhluk.Sementara itu, tantangan yang dihadapinya semakin hari semakin berkembang dan kompleks sebagai konsekwensi dari bertambah majunya ilmu pengetahuan dan teknologi(iptek) dan kebutuhan serta kepekaan masyarakat, demikian halnya pergantian era industri ke era reformasi dan demokrasi menambah pekerjaan baru yang harus segera diantisipasi.Ironisnya, menghadapi persoalan di atas, banyak dari kalangan pesantren (khususnya pesantren salaf) lebih menganggap sebagai suatu persoalan yang berdampak negatif (mengandung maksiat) dari pada dampak positif sehingga sebagai akibat dari sikap semacam ini sebagian pesantren bukan hanya termaginalkan, akan tetapi juga telah kehilangan pamor (kharisma) yang pada gilirannya akan ditinggalkan oleh masyarakatnya sendiri sehingga tidak menutup kemungkinan pesantren tersebut akan gulung tikar alias tutup.