Senin, 25 Februari 2008

POTRET PENDIDIKAN ANAK PENGUNGSI (Studi di PP Zainul Hasan Genggong Pajarakan Probolinggo Jawa Timur)

Pada sesi ini saya akan mencoba mendeskribsikan melalui research kondisi sebagian kecil anak-anak bangsa Indonesia yang nota bene merupakan penentu corak bangsa ini di masa yang akan datang. Mereka adalah anak-anak bangsa yang menjadi korban kekerasan konflik horisontal di Sambas Kalimantan Barat dan Sampit Kalimantan Tengah.A. Makna Dan Tuntutan Pendidikan Bagi Anak Pengungsi Pendidikan bagi anak-anak pengungsi merupakan hal yang sangat penting untuk menjamin perkembangan, kelangsungan hidup dan masa depan mereka. Pendidikan adalah usaha sadar untuk menyiapkan peserta didik (santri) melalui kegiatan bimbingan, pengajaran, dan/atau latihan bagi peranannya di masa yang akan datang. Setiap anak seperti anak-anak pengungsi Sambas dan Sampit yang ada di Pesantren Zainul Hasan berhak memperoleh pendidikan pada tahap manapun dalam perjalanan hidupnya. Pendidikan dapat diperoleh baik melalui jalur pendidikan formal maupun jalur pendidikan non-formal.Anak-anak pengungsi dalam lingkungan pendidikan mempunyai berbagai hak, yaitu: hak mendapatkan perlakuan sesuai dengan bakat, minat, dan kemampuan; hak mengikuti program pendidikan yang bersangkutan atas dasar pendidikan berkelanjutan, baik untuk mengembangkan kemampuan diri maupun untuk memperoleh pengakuan tingkat pendidikan tertentu yang telah dibakukan; hak mendapat bantuan fasilitas belajar, beasiswa, atau bantuan lain sesuai dengan persyaratan yang berlaku; hak pindah ke satuan pendidikan yang sejajar atau yang tingkatnya lebih tinggi sesuai dengan persyaratan penerimaan peserta didik pada satuan pendidikan yang hendak dimasuki; hak untuk memperoleh penilaian hasil belajar; hak menyelesaikan program pendidikan lebih awal dari waktu yang ditentukan; dan hak mendapat pelayanan khusus sebagai anak pengungsi.Di samping itu, setiap mereka memiliki kewajiban-kewajiban untuk mematuhi semua peraturan yang berlaku; untuk menghormati tenaga kependidikan; untuk ikut memelihara sarana dan pra-sarana serta kebersihan, ketertiban dan keamanan satuan pendidikan yang bersangkutan. Tuntutan dan kewajiban belajar bagi anak khususnya anak-anak pengungsi Muslim Madura di Pondok pesantren Zainul Hasan Genggong adalah didasarkan pada dasar hukum tertinggi dalam Islam yaitu Al-qur'an dan hadits diantara firman Allah swt yang menerangkan hal ini adalah: يرفع الله الذين امنوا منكم والذين اوتوا العلم درجاتArtinya: Allah akan mengangkat orang-orang yang beriman dan orang-orang yang mempunyai ilmu beberapa derajat.فلولانفر من كل فرقة منهم طائفة ليتفقهوا في الدين ولينذروا قومهم اذارجعوا اليهم لعلهم يحذرونArtinya: Maka hendaklah sebagian kelompok dari mereka untuk berangakat belajar/memahami agama (Islam) dan memberikan peringatan kepada kaumnya jika kembali/pulang kepada mereka barangkali mereka termasuk orang yang mendapat peringatan (QS. Al Taubah.122).Sedangkan hadits-hadits yang menjelaskan hal tersebut adalah:اطلبواالعلم من المهد الى اللهدArtinya: Hendaklah kamu sekalian menuntut ilmu (sejak) mulai di pangkuan ibu sampai ke liang lahat.طلب العلم فريضة على كل مسلم و مسلمةArtinya: Menuntut ilmu adalah wajib bagi setiap orang Islam laki-laki dan perempuanAdapun dasar hukum lain yang turut melandasinya adalah Undang-Undang Dasar 1945 pasal 31 ayat 1, 2 dan 3 yang berbunyi: 1) Setiap warga Negara berhak mendapat pendidikan. 2) Setiap warga negara wajib mengikuti pendidikan dasar dan pemerintah wajib membiayainya. 3) pemerintah mengusahakan dan menyelenggarakan satu sistem pendidikan nasional yang meningkatkan keimanan dan ketaqwaan serta akhlaq mulia dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa yang diatur dengan undang-undang.Selain itu, juga dikuatkan oleh pernyatakan Perserikatan Bangsa-Bangsa Untuk Urusan Kemanusiaan (OCHA) yang tertuang dalam Prinsip-Prinsip Panduan Bagi Pengungsi Internal (Internal Displaced Person), prinsip 23 sebagai berikut: 1) Setiap manusia memiliki hak atas pendidikan. 2) Untuk mewujudkan hal ini bagi para pengungsi internal, fihak-fihak berwenang yang terkait harus memastikan bahwa pengungsi-pengungsi internal tersebut, khususnya pengungsi anak-anak menerima pendidikan, yang pada tingkat dasar harus gratis dan diwajibkan, pendidikan harus diselenggarakan dengan menjunjung tinggi identitas budaya, bahasa dan agama. 3) Harus dilakukan upaya-upaya khusus untuk memastikan peran serta penuh dan setara dari kaum perempuan dan anak-anak perempuan dalam program-program pendidikan. 4) Prasaran dan sarana pendidikan dan pelatihan harus disediakan bagi para pengungsi internal, khususnya kaum remaja adan perempuan yang tinggal didalam kamp atau tidak, sesegera mungkin begitu keadaan memungkinkan.B. Bentuk Pendidikan Anak-Anak Pengungsi di Pesantren Zainul HasanPendidikan anak-anak pengungsi di Pesantren Zainul Hasan adalah pendidikan totalitas, pendidikan ini bukan hanya pendidikan yang berorientasi pada kognitif atau mengisi otak anak dengan ilmu-ilmu agama (Islam) dan ilmu-ilmu umum semata, tetapi juga pendidikan hati yang dilakukan melalui praktik/pengamalan ilmu, yang kemudian dikenal dengan cara riyadlah. Dalam pendidikan yang berorientasi pada kognitif dilaksanakan dalam bentuk pengajian-pengajian, pendidikan diniyah klasikal dan pendidikan sekolah melalui beberapa metodenya yang terkenal yaitu: metode weton, metode bandongan, metode ceramah, metode hafalan dan sebagainya, sedangkan dalam pendidikan hati (rohani) dilaksanakan dalam bentuk pemberian bacaan-bacaan Al qur’an, wirid dan pengamalan ilmu-ilmu syari’ah dalam kehidupan sehari-hari. Dari praktek keseharian (ilmu syariah dan thariqat) inilah, maka anak-anak pengungsi yang merupakan sub dari masyarakat Pesantren Zainul Hasan terbentuk model kehidupan masyarakat tersendiri yang berbeda dengan masyarakat di luar pesantren. Berangkat dari sekilas uraian di atas, maka pendidikan anak-anak pengungsi di Pesantren Zainul Hasan dapat dikategorikan menjadi tiga bagian yaitu: Pendidikan pesantren, pendidikan sekolah, dan pendidikan hati.1. Pendidikan Pesantren Bagi Anak-Anak Pengungsi Pendidikan pesantren yang dimaksud adalah suatu bentuk pendidikan tradisional yang melibatkan kiai atau ustadz (sebagai pendidik) dan anak-anak pengungsi (sebagai santri/peserta didik) dalam suatu interaksi edukatif di musholla/masjid dengan materi dan metode klasik (tradisional).Pendidikan ini sebagaimana pendidikan pesantren lainnya merupakan suatu sistem yang terdiri dari beberapa unsur utama yaitu: santri, kiai atau ustadz, pengajaran kitab kuning dan Al qur'an, masjid atau musholla sebagai tempat berlangsungnya pendidikan dan pondok atau asrama sebagai tempat tinggal anak-anak pengungsi/santri. Untuk lebih lengkapnya berikut ini akan diuraikan secara spesifik beberapa elemen pesantren diatas. 1.1. Anak-Anak Pengungsi (sebagai Santri di Pesantren Zainul Hasan)Pada mulanya anak-anak yang menjadi korban konflik Sambas dan Sampit ini berstatus sebagai anak-anak pengungsi, tapi setelah mereka ditampung di Pondok Pesantren Zainul Hasan Genggong status mereka secara otomatis berubah menjadi santri (dalam bahasa Madura disebut santre'h) sebagaimana layaknya predikat yang disandang oleh anak-anak lain yang belajar di tempat tersebut.Kata "santri" di dalam berbagai referensi diartikan sebagai orang yang mencari ilmu agama Islam di pesantren, baik yang menetap maupun tinggal di rumahnya masing-masing. sedangkan di pesantren ini, kata "santri" tidak sesederhana itu, melainkan sebuah singkatan yang mempunyai makna khusus yang harus dipegang teguh dan diamalkan dalam kehidupan sehari-hari, yaitu: S = Sopan Santun artinya para santri harus mempunyai prilaku atau akhlak yang baik prinsip ini didasarkan pada hadits nabi: “Innamaa bu’itstu liutammima makaarim al akhlaq” dan “wa khaliqin naasa bi khuluqin hasanin” (HR. Imam Ahmad dan Al Turmudzi dan Al Hakim, dari Abi Dzarrin. Dan HR. Ahmad dan Al Turmudzi. Dari Mu’adz ra).A = Ajeg atau Istiqamah artinya setiap santri harus memiliki sikap yang teguh pendirian, tetap beramal shalih dan disiplin dalam menjalankan ritual keagamaan seperti shalat pada waktunya dengan berjama’ah. Prinsip ini didasarkan pada Al qur’an: “wa an lawistaqaamu ‘ala al thariiqati la asqainaahu ma an ghadaqa” (QS. Al Jin: 16) dan hadits nabi: “Qul amantu billahi tsumma istaqim” (HR. Muslim dan Al Turmudzi dan Al Nasaa’I dan Ibnu Majah. Dari Sufyan bin Abdillah al Tsaqafi).N = Nasihat artinya semua santri harus mendengarkan dan melaksanakan segala nasihat yang terkandung dan diajarkan dalam agama Islam. Prinsip ini didasarkan pada Al qur’an: “wa uballighukum risaalata rabbi wa ana lakum naasihun amin” (QS. Al A’raf: 68) dan hadits nabi: “Al diinu al nashihah” (HR. Al Turmudzi al tarikh. Dari Tsauban al Bazzaz, dari Ibnu Umar.T = Taqwallah artinya setiap santri harus menjalankan apa yang diperintahkan oleh Allah dan meninggalkan apa yang dilarang oleh Allah “Imtitsaalu awaamirillahi wajtinaabu nawaahiihi.” Prinsip ini didasarkan pada Al Qur’an: “Ya ayyuha al ladziina amanuu ittaqullaha haqqa tuqaatihi wa laa tamuutunna illa wa antum muslimun.” (QS. Ali Imran; 102) dan hadits nabi: “Ittaqullaha haitsumaa kunta” (HR. Ahmad fi sanadihi dan Al Turmudzi dan Al Hakim dan Al Baihaqi)R = Ridlallah artinya setiap santri Pesantren Zainul Hasan di dalam melakukan aktivitas kesehariannya khususnya yang bersifat ritual, harus selalu diiringi dengan (niat atau tujuan) mencari keridlaan Allah. Hal ini didasarkan pada firman Allah swt: “ Wa ridlwaanum min Allahi Akbar” (QS. Al Taubah; 72) dan sabda nabi: “ Maa min muslimin au insanin au ‘abdin yaquulu hiina yamsi wa hiina yushbihu: radliitu billahi rabban wabil islaami diinan wabi muhammadin nabiyyan illa kaana haqqan ‘ala Allahi an yurdiyahu yaumal qiyaamati.” (fi al zawaaidi isnaaduhu shahiihun, rijaaluhu tsiqatun wa ibnu Majah); danI = Ikhlash lillahi ta’ala artinya bahwa segala perbuatan santri Pesantren Zainul Hasan Genggong (khususnya yang bersifat ritual) harus selalu didasari oleh jiwa yang ikhlas-karena Allah ta’ala semata-bukan karena orang lain atau lainnya. Prinsip ini didasarkan pada firman Allah swt: “Wamaa umiruu illa liya’budu Allaha mukhlishiina lahu al diina” (QS. Al Bayyinah; 5) dan maqaalah al Marhum al ‘arif billah KH. Mohammad Hasan: “ Shahhih ‘a’maalaka bil ikhlash wa shahhih ikhlashaka bi laa haula wa laa quwwata illa billah al ‘aliyyi al ‘adziimi” a. Motivasi Monduk di PesantrenIstilah "monduk" bagi anak-anak pengungsi Sambas dan Sampit etnis Madura bukanlah suatu hal yang asing, sebab istilah ini sering didengar sebelumnya baik ketika mereka belajar mengaji Al-qur'an pada seorang kiai di musholla dimana ia tinggal ataupun oleh karena banyaknya masyarakat tersebut yang belajar di pesantren, sehingga tidak heran kalau tradisi pesantren seperti memakai sarung dan kopiyah dibawa ke masyarakat dan bahkan menjadi budaya tersendiri..Hidup di pesantren sebagaimana difahami adalah menuntut kederhanaan dan disiplin yang ketat. Keadaan ini tentu dapat dirasakan sebagai suatu hal yang cukup berat, terutama bagi anak-anak pengungsi dimana kondisi mereka sangat memprihatinkan baik phisik maupun psikis seperti trauma dan shok, hal ini terlihat dari kegiatan mereka sehari-hari yang selalu menyendiri, bangun tengah malam dengan penuh ketakutan, berbicara dengan terbata-bata dan sebagainya. Namun beban itu akan terasa ringan apabila dipikul dengan tanpa paksaan, diberikan bimbingan secara permanent dan dilandasi dengan kesadaran diri yang kuat.Bagi anak-anak pengungsi yang belajar (ditampung) di pondok pesantren Zainul Hasan Genggong, ada kecenderungan bahwa pada umumnya mereka memasuki pesantren tersebut didorong oleh dorongan orang lain termasuk famili dan kiai dan sedikit sekali dorongan dari diri sendiri, orang tua dan teman sebaya. Kecenderungan ini nampak dari jawaban anak-anak pengungsi yang kami wawancarai dengan bahasa Madura sebagai berikut: "……Kauleh monduk 'e ponduk Zainul Hasan Ginggung ka'dintoh polanah 'eyajek anom beden kauleh se' gi' akulieh 'e Jogja…."Maksudnya adalah "…saya mondok di Pondok Pesantren Zainul Hasan Genggong ini, karena saya diajak paman saya yang sedang kuliah di Jogja….". Memang, secara historis, inisiatif pengiriman anak-anak pengungsi ke pesantren Zainul Hasan Genggong pada awalnya berasal dari teman kuliah penulis yang nota bene famili dekat (paman) dari beberapa anak pengungsi, kemudian inisiatif ini direalisasikan oleh beberapa pengurus PMII (Pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia) cabang Sleman Yogyakarta dengan cara menemui beberapa pimpinan Pesantren Zainul Hasan yaitu Ny Hj Diana Susilowati, KH Mutawakkil Alallah dan kiai-kiai yang lain. Setelah terjadi kesepakatan antara pengurus PMII dan pihak pimpinan, maka berdasarkan kesepakatan pengiriman anak-anak pengungsi dilakukan dengan tiga tahap, yaitu tahap pertama tanggal 17 Agustus 1999, tahap kedua tanggal 1 Oktober 1999 (berasal dari pengungsi Sambas yang mengungsi di Kabupaten Sampang Madura), dan tahap ketiga tanggal 1 Mei 2001 (berasal dari pengungsi Sampit).a.Tujuan Mencari Ilmu di PesantrenBerdasarkan interview dengan sejumlah (20 responden) anak-anak pengungsi Sambas dan Sampit di Pondok Pesantren Zainul Hasan Genggong, maka dapat disimpulkan bahwa tujuan mereka mencari ilmu di pesantren tersebut adalah:1.Menjadi orang yang ahli dalam ilmu agama (ulama' atau kiai);2.Mencari ilmu yang bermanfaat semata; dan3.Menjadi tokoh masyarakat Dari ketiga jawaban di atas, ternyata tujuan yang paling diidam-idamkan oleh mereka adalah ingin menjadi orang yang 'alim atau kiai, sebab bagi mereka orang yang 'alim atau kiai akan memperoleh kemudahan dari Allah swt. dalam segala urusan baik yang terkait dengan urusan dunia maupun urusan akhirat, sedangkan dua tujuan lainnya sedikit yang menginginkan, karena sudah tercakup dalam tujuan yang pertama, yakni bahwa setiap orang yang 'alim sudah barang tentu mempunyai ilmu yang bermanfaat dan menjadi tokoh masyarakat.Ketiga tujuan itu tidak seperti tujuan proses belajar mengajar sebagaimana TPU (Tujuan Pembelajaran Umum) atau TPK (Tujuan Pembelajaran Khusus) yang dapat diketahui hasilnya setelah satu mata pelajaran selesai, tetapi lebih merupakan suatu hasil atau tujuan dari serangkaian proses yang dapat dilihat setelah anak (santri) pulang ke rumah masing-masing, sementara santri pengungsi sendiri pada saat ini masih dalam tahap awal (proses) belajar.Oleh karena itu, tercapai tidaknya tujuan santri pengungsi di pesantren Zainul Hasan Genggong tidak dapat diketahui secara dini, apalagi mereka masih dalam transisi mental/psikis akibat konflik antar etnis. 1.2.Kiai dan Ustadz Sebagai Pendidika. Kyai sebagai PendidikKiai merupakan elemen yang paling esensial dari suatu pondok pesantren. Penghormatan masyarakat, terutama masyarakat pesantren kepadanya sangat tinggi. Doktrin kekyaian yang sudah mengakar dan melekat secara inhern dalam kehidupan pesantren adalah menyangkut keberadaan kyai sebagai ulama pewaris para nabi. Hal ini dapat mengakibatkan pengkultusan kepada kyai dalam segala hal. Sebagaimana dijelaskan oleh Horikoshi yang diikuti oleh Arifin bahwa kyai memiliki paling tiga peran, yaitu sebagai pemangku masjid dan madrasah, sebagai pengajar dan pendidik, juga sebagai ahli dan penguasa hukum Islam. Dari ketiga peran tersebut, mengajar dan mendidik merupakan peran utama yang dimiliki oleh kyai. Dengan mengajar dan mendidik, seorang kyai dapat memelihara keyakinan dan nilai-nilai kultural, bahkan tidak jarang terjadi seorang kyai menjadi personifikasi dari nilai-nilai itu sendiri.Sebagai seorang pengajar dan pendidik, seorang kiai biasanya selalu meluangkan waktunya untuk mendidik santri, dengan mengadakan pengajian kitab kuning di masjid atau di kediamnya. Bagi para santri mengaji kitab kuning pada kyai berbeda dengan mengaji pada ustadz dan sejenisnya, sebab mereka akan memperoleh dua hal yaitu ilmu agama (Kitab kuning) dan barokah kyai. b. Ustadz sebagai PendidikTerma “ustadz” dalam lingkungan pesantren, khususnya Pesantren Zainul Hasan Genggong mungkin merupakan hal yang lebih menonjol dan lebih sering digunakan bila dibandingkan dengan penggunaan istilah lain yang semakna dengannya, seperti istilah “pak guru” atau “ibu guru.” Hal itu terjadi, karena pesantren ingin mempraktekkan, menciptakan dan membudayakan tradisi baru yang bersumber dari referensi-referensi berbahasa Arab (terutama kitab kuning), baginya bahasa Arab adalah media untuk memahami ajaran agama Islam secara murni, keberhasilah seorang santri biasanya diukur dengan sejauh mana kemampuannya menguasai bahasa Arab, bila seorang santri mampu menguasai bahasa Arab (kitab kuning), maka ia dianggap telah berhasil dalam pendidikannya di pesantren, namun sebaliknya, jika seorang santri tidak dapat menguasai bahasa Arab, maka ia dianggap telah gagal dalam pendidikannya.Sedangkan di dalam lingkungan komplek Zainur Rahmah, para ustadz adalah satu-satunya pendidik yang memberikan bimbingan, pengajian, pengarahan dan latihan pada anak-anak pengungsi sebab kiai di komplek ini tidak memberikan pengajian. Pada hakekatnya mereka masih berstatus sebagai santri senior yang mempunyai peran yang sangat besar, di samping tugas mereka yang paling utama yaitu mendidik anak-anak pengungsi, mereka juga menjaga para santri tersebut selama 24 jam, untuk itulah, maka mereka diberi kamar khusus yang bersebelahan dengan kamar santri sehingga hubungan antara santri dan ustadz sebagaimana layaknya hubungan antara kakak dan adik, ada komunikasi dan tidak ada dinding pemisah, dengan kata lain hubungan keduanya mendukung proses pendewasaan anak-anak pengungsi (santri). 1.3. Kurikulum (Pengajaran Kitab Kuning dan Al qur'an)Telah dijelaskan di muka bahwa Pesantren Zainul Hasan menyelenggarakan dua jenis pendidikan yaitu: pendidikan pesantren (tradisional) dan pendidikan formal (modern). Jenis pendidikan pesantren bersifat non formal, hanya mempelajari ilmu agama (Islam) yang bersumber pada kitab-kitab salaf (kitab gundul) dan tulis baca Al-qur'an, sedangkan pendidikan formal menggunakan kurikulum campuran, pesantren, Departemen Agma Republik Indonesia dan Departemen Pendidikan Nasional Republik Indonesia.Terkait dengan kurikulum pendidikan pesantren dapat dikemukakan bahwa pendidikan tersebut berdasarkan pada tingkat kemudahan dan kompleksitas ilmu atau masalah yang dibahas dalam kitab, jadi ada tingkat rendah, tingkat menengah dan tingkat lanjut. Untuk tingkat rendah kebanyakan diikuti oleh santri yang sekolah di Madrasah Ibtidaiyah, Sekolah Menengah Pertama dan Sekolah Menengah Umum, untuk tingkat menengah diikuti oleh santri yang sekolah Madrasah Tsanawiyah dan Madrasah Aliyah, sedangkan untuk tingkat tinggi kebanyakan diikuti oleh santri yang belajar di Madrasah Aliyah dan Perguruan Tinggi, tapi semua itu tergantung pada kemampuan dan kemauan santri yang bersangkutan, hal itu karena yang mengetahui kemampuan dan memiliki kemauan adalah masing-masing santri yang dimaksud.Sedangkan di komplek Zainur Rahmah sebagai sub atau bagian dari Pesantren Zainul Hasan secara umum mengikuti program atau kurikulum yang ada di pesantren induk (Pesantren Zainul Hasan), namun demikian, pengurus komplek secara khusus membuat program dan jadwal kegiatan/pengajian tersendiri.Kurikulum diatas, dibuat dan diberlakukan bagi anak-anak pengungsi yang pendidikannya pada tingkat dasar, sedangkan bagi anak-anak pengungsi yang pendidikannya menengah (setingkat MTs) dan tinggi (setingkat MA), maka diberi kebebasan untuk belajar atau mengaji di pondok induk (Masjid Barokah) bersama santri-santri lain yang bukan pengungsi. 1.4. Metode PendidikanSalah satu elemen penting dalam pendidikan pesantren adalah adanya metode/cara penyajian materi pelajaran yang khas dan masih tradisional, yaitu metode bandongan. Metode ini adalah sebuah metode dimana seorang kiai atau ustadz (sebagai badal kiai) membacakan dan menjelaskan isi sebuah kitab dengan dikerumuni olah sejumlah santri, masing-masing santri memegang kitabnya sendiri, mendengar dan mencatat makna yang disampaikan kiai di bawah setiap lafadz atau kalimat dengan tulisan miring, sedangkan keterangannya ditulis di pinggir kitab itu atau pada lembaran lain. Jumlah santri tidak dapat ditentukan dengan pasti, namun merupakan suatu kalompok dihadapan atau di sekeliling penyaji materi. Sedangkan metode sorogan adalah santri menyodorkan sebuah kitab kepada kiai, kemudian kiai atau ustadz memberikan tuntunan bagaimana cara membacanya, menghafalkannya, dan apabila telah meningkat, juga tentang makna dan tafsirnya lebih mendalam. Metodik ini diakui paling intensif karena dilakukan seorang demi seorang dan ada kesempatan untuk tanya jawab secara langsung.Demikian halnya dengan pendidikan pesantren bagi anak-anak pengungsi di komplek Zainur Rahmah Pesantren Zainul Hasan Genggong, metode yang dipakai dalam penyajian kitab kuning adalah metode bandongan, selain itu juga digunakan metode hafalan, metode demonstrasi dan metode halaqah dan metode-metode lain sesuai dengan materi palajaran yang telah ditentukan.Melihat keterangan di atas maka dapat dijelaskan di sini bahwa metode atau cara penyampaian materi kepada santri di komplek Zainur Rahmah Pesantren Zainul Hasan Genggong bermacam-macam sesuai dengan materi yang akan disampaikan, yaitu:1.Metode Bandongan, metode ini sudah banyak disinggung diatas.2.Metode Halaqah maksudnya para santri membuat suatu lingkaran kecil 5-10 orang, kemudian satu di antara mereka membacakan materi (biasanya membaca Al qur'an dan sholawat) sementara yang lain menyimaknya dengan seksama, sesekali para santri yang menyimak memberikan teguran jika ada kesalahan dari pembaca, demikian cara ini dilakukan secara bergiliran.3.Metode Hafalan adalah suatu metode yang digunakan untuk melatih daya ingat. Metode ini biasanya digunakan untuk materi yang bernadzam/syi'iran, surat-surat pendek dalam Al qur'an, bacaan-bacaan Arab pendek seperti kalimat istighfar, tahlil, tahmid, istighasah dan lain-lain.4.Metode Ceramah adalah suatu cara penyampaian materi kepada santri dengan cara seorang ustadz (atau santri yang menjadi penceramah) memberikan penjelasan atau uraian materi secara lisan di depan para santri dengan panjang lebar, sedangkan para santri mendengarkan dan menulis apa yang dijelaskan oleh penceramahMetode Demontrasi adalah suatu penyampaian materi dengan mempraktekkan di depan santri atau cara pengajaran yang memerlukan alat bantu tertentu agar ilmu yang disampaikan dapat segera difahami oleh santri. Santri tidak hanya mendengar, tetapi juga melihat mutu proses yang diperagakan seperti demo membaca Al qur'an, membaca diba'iyah yang benar dan lain-lain.. 1.5. Musholla sebagai Tempat PendidikanMusholla adalah sebuah kata tempat (isim makan) bentukan dari kata benda/masdar "shalat" yang mempunyai arti sembahyang, do'a dan bacaan shalawat. Sedangkan secara terminologi musholla diartikan sebagai tempat untuk melaksanakan sholat baik shalat sendirian maupun shalat berjama'ah lima waktu (Dzuhur, Ashar, Maghrib, Isya' dan shubuh).Di komplek Zainur Rahmah Pesantren Zainul Hasan genggong terdapat sebuah bangunan musholla dengan ukuran 10x10 meter. Musholla yang bernama Zainur Rahmah ini dibangun, selain untuk tempat shalat lima waktu bagi anak-anak pengungsi dan anak-anak yatim piatu, juga untuk kepentingan sebagai tempat pendidikan pesantren seperti pengajian kitab kuning, tulis baca Al qur'an, latihan khitobah atau orasi dan lain-lain. 2. Pendidikan Formal Bagi Anak-Anak PengungsiA. Jenis-Jenis Pendidikan FormalSama halnya dengan para santri lain yang mondok di Pesantren Zainul Hasan Genggong, anak-anak pengungsi yang ditampung di tempat ini juga diberi kesempatan untuk menikmati pendidikan formal (sekolah atau madrasah), malah pendidikan yang satu ini diwajibkan oleh pimpinan pondok dengan alasan demi masa depan mereka.Pendidikan yang disediakan bagi anak-anak pengungsi disesuaikan dengan usia anak dan jenjang pendidikan mereka sebelum ditampung di pesantren ini atau atas dasar keinginan anak sendiri. Dilihat dari sisi usia anak, berdasarkan data yang tercantum dalam dokumen konplek Zainur Rahmah Pesantren Zainul Hasan, usia mereka berkisar antara 7 tahun sampai 19 tahun.Klasifikasi usia ini didasarkan pada usia pendidikan formal yang menunjukkan tingkat atau jenjang pendidikan tertentu, yaitu usia 7 -12 tahun untuk sekolah dasar (SD/MI), usia 13 -15 tahun untuk jenjang SLTP/MTs dan usia 16 -18 atau 19 tahun untuk jenjang SMU atau MA.Namun demikian, kenyataanya lain dengan apa yang terjadi pada pendidikan anak-anak pengungsi, usia mereka lebih tua dari tingkat pendidikan yang semestinya, bahkan ada anak yang seharusnya belajar di tingkat SMU kelas akhir atau usia kuliah (umur 19 tahun), sementara ia masih duduk/belajar di tingkat MTs. Hal ini terjadi karena beberapa alasan, yaitu: 1) kurikulum pendidikan formal (seperti MI, MTs dan Aliyah) di pesantren Zainul Hasan termasuk ketegori tingkat tinggi, bila dibandingkan dengan pendidikan agama yang setingkat; dan 2) Anak-anak pengungsi memasuki pendidikan formal yang tidak sejurusan dengan pendidikan sebelumnya; 3) Pendidikan anak-anak pengungsi sebelumnya, tingkat prosentase pelajaran agamanya lebih rendah dari pendidikan formal yang dimasuki di pesantren ini. Sekedar sebagai perbandingan tantang kasus di atas dapat dilihat pada materi yang diajarkan di MTsN dan MTs Zainul Hasan. Pada MTsN untuk materi Fiqh, pada umumnya menggunakan buku diktat Departemen Agama RI yang menggunakan bahasa Indonesia dengan bahan pelajaran yang masih sangat dasar, sedangkan di MTs Zainul Hasan Genggong, untuk materi Fiqh menggunkan kitab-kitab klasik yang tidak berharkat, tidak ada tanda baca dan tidak ada terjemahannya seperti kitab fathul qarib, fathul mu'in dan bahkan untuk kelas akhir menggunakan kitab fathul wahab. B. Tujuan Anak Belajar di Pendidikan FormalAdapun tujuan mereka belajar di pendidikan formal adalah terkair erat dengan jenis lembaga pendidikan yang dimasuki. Bagi anak-anak pengungsi yang masuk pendidikan madrasah seperti Madrasah Ibtidaiyah, Madrasah Tsanawiyah dan Madrasah Aliyah adalah untuk menjadi orang yang menguasai ilmu agama (Islam), menjadi guru agama Islam, ingin menjadi tokoh masyarakat/ulama' dan sebagian lagi ingin memperoleh bekal untuk kelak dapat melanjutkan pendidikan ke tingkat yang lebih tinggi. Sedangkan anak-anak pengungsi yang belajar di lembaga pendidikan umum seperti Sekolah Dasar, Sekolah Menengah Pertama dan Sekolah Menengah Umum adalah ingin menjadi orang yang berpengetahuan luas, menjadi guru negeri (PNS) dan sebagian lagi ingin menjadi perawat dan dokter. Penentuan tujuan tersebut, setelah ditanya ulang pada anak yang bersangkutan dapat disimpulkan sebagai berikut: 1) pengaruh lingkungan pondok pesantren itu sendiri, seperti anak yang ingin menjadi perawat adalah karena di Pondok Pesantren Zainul Hasan menyelenggarakan Pendidikan Akademi Keperawatan (AKPER) dan 2) cita-cita anak sendiri yangt dibawa sejak masa kecilnya. C. Kegiatan Belajar Mengajar Suatu kegiatan belajar mengajar (KBM) akan terjadi bilamana ada interaksi edukatif antara peserta didik (termasuk anak-anak pengungsi) dengan pendidik (ustadz). Kegiatan seperti berlangsung sejak jam 07.15 WIB sampai jam 12.30 WIB bahkan untuk pendidikan program unggulan sampai jam 16.00 WIBBagi anak-anak pengungsi yang belajar di pendidikan formal Pesantren Zainul Hasan diperlakukan sama seperti anak-anak lain, mereka memperolah hak-haknya sebagaimana mestinya seperti memperoleh materi sesuai program yang direncanakan, memperoleh hak atas penilaian, hak untuk berkreasi, hak untuk berprestasi dan hak-hak yang lain. Di samping itu mereka juga tidak diperlakukan secara khusus sebagaimana yang dianjurkan oleh para psikolog, sebab mereka itu sama. Memang, menurut salah satu ustadz MI Asy Syafi'iyah PZH, pada mulanya anak-anak pengungsi ini selalu terlihat sendirian, mender, tidak mau bergaul dengan yang lain, namun hal itu hanya bersifat sementara, oleh karena mereka dalam proses adaptasi dan tahap rehabilitasi mental secara bertahap. D. Beasiswa Bagi Anak PengungsiAnak-anak pengungsi yang menempuh studi di pendidikan formal Pesantren Zainul Hasan Genggong adalah tergolong anak-anak yang secara ekonomi kurang/tidak mampu dan pendidikannya terancam putus sehingga karenanya mereka diberi pendidikan gratis dan beasiswa. Kedua program ini khususnya program beasiswa, pada hakekatnya merupakan salah bentuk program yang ditempuh oleh beberapa pihak yang ingin menyelamatkan pendidikan anak usia sekolah, diantaranya adalah program pemerintah pusat, pemerintah Daerah Tingkat I Jawa Timur (dan Pemerintah Daerah Tingkat II Probolinggo) dan bantuan dari Jepang. Pemerintah pusat melaksanakan program ini melalui program Jaring Pengaman Sosial (JPS) dan Program Konpensasi Pengurangan Subsidi-Bahan Bakar Minyak (PKPS-BBM) atau yang lebih dikenal dengan istilah BKM (Bantuan Khusus Murid), sedangkan Pemerintah Dati I Jawa Timur dan Pemerintah Dati II Probolinggo melalui program Dana Bantuan Minimal untuk pembebasan SPP bagi anak usia sekolah dan bantuan Jepang malalui Program Hibah Jepang untuk maksud yang sama seperti di atas. Ketiga program ini intinya adalah agar siswa pada tingkat dasar dan menengah, yang berasal dari keluarga kurang/tidak mampu dapat mambiayai keperluan sekolahnya sehingga:1.Siswa tidak putus sekolah akibat kasulitan ekonomi;2.Siswa mempunyai kesempatan yang lebih besar untuk terus sekolah dan melanjutkan pendidikan ke jenjang berikutnya;3.Siswa khususnya perempuan dapat menyelesaikan pendidikan sekurang-kurangnya sampai dengan jenjang sekolah lanjutan pertama. Jumlah dana yang diberikan kepada siswa bervariasi berdasarkan jenjang pendidikan anak. Untuk MI (dan yang sederajat) adalah sebagai berikut: a) Pemerintah Pusat sebesar Rp. 10.000/bulan/anak, Pemerintah Daerah Tingkat I Jawa Timur dan Pemda Probolinggo sebesar Rp.15.000/bulan/anak, dan c) Pemerintah Jepang sebesar Rp. 10.000/bulan/anak. Sedangkan untuk tingkat MTs dan MA dan yang sederajat adalah sebesar Rp.20.000/bulan/anak untuk tingkat MTs dan Rp.25.000/bulan/anak untuk tingkat MA.3. Pendidikan Hati (Ruhani)Pendidikan ruhani maksudnya adalah bentuk pendidikan (amaliah batin) yang mengajarkan bagaimana anak didik atau santri melatih dan memperbaiki hatinya. Hal ini berbeda dengan kedua pendidikan sebelumnya yang lebih berorientasi pada pengetahuan atau kognitif anak dan amal lahir, sedangkan pendidikan ini lebih berorientasi pada aspek batin.Bagi anak-anak pengungsi yang mondok di pesantren ini, selain harus mengamalkan ilmu-ilmu lahir (seperti shalat dan puasa) yang didapat, juga diajarkan ilmu batin ini melalui pengamalan dzikir atau bacaan-bacaan tertentu dengan jumlah bacaan tertentu pula, tujuannya secara umum adalah untuk mendekatkan diri kepada Allah swt, sedangkan tujuan secara khusus adalah tergantung pada faedah atau fungsi dari masing-masing bacaan atau dzikiran.Berdasarkan penelitian penulis melalui observasi dan wawancara dengan sejumlah pengurus dan anak-anak pengungsi, bacaan-bacaan dzikir yang diamalkan santri adalah:a.Istighfar (Astaghfirullah al adzim alladzi la ilaha illa huwa…..) 3 xb.As salam (Allahumma anta al salam…..) 1 xc.Al Ikhlas (Qul huwa Allahu ahad ……) 3 xd.Al Falaq (Qul A'udzu birabbil falaq … ) 1 xe.Al Naas (Qul A'udzu birabbi al naas …) 1 xf.Ayat Kursi (Wa ilahukum ilahun wahidun la ilaha illa huwa al rahmaanu rahim……. Wasi'a kursiyyuhu al samawati …..) 1 xg.Tasbih (Subhanallah) 33 xh.Tahmid (Al hamdulillah) 33 xi.Takbir (Allahu Akbar) 33 xj.Tahlil (La Ilaha Illallah) 100 xk.Do'aBacaan-bacaan dan jumlah hitungannya di atas diambilkan dari sumber-sumber naqli yang rajih (kuat), dan dibaca bersama-sama (dengan mengeraskan dan kadangkala tanpa suara) pada setiap selesai shalat fardlu yaitu Dhuhur, Ashar, Maghrib, Isya' dan Shubuh. Menurut Syekh Muhyiddin dalam kitab "Al Adzkar" sebagaimana diriwayatkan oleh Ibnu Abbas bahwa berdzikir dengan mengeraskan suara merupakan tradisi yang terjadi sejak pada masa Rasulullah saw. Adapun maksud dari pengerasan suara tersebut adalah untuk mengajarkan kepada para makmum, dan apabila para makmum sudah faham, maka suaranya direndahkan. Selain bacaan-bacaan tersebut, bagi para santri yang sudah menguasai tulis-baca Arab khususnya al Qur'an juga dianjurkan mengamalkan surat-surat yang dibaca dan diamalkan oleh para pengasuh sebelumnya yaitu membaca surat-surat munjiyat (surat penyelamat) yang meliputi: surat al Sajadah, surat Yâsîn, surat al Dukhân, surat al Rahmân, surat Wâqi'ah, surat al Hadîd dan surat al Mulk, tujuan membaca surat-surat tersebut adalah 1) mendekatkan diri kepada Allah; dan 2) selamat di dunia dan akhirat.Untuk membaca amalan yang disebut terakhir ini, para santri diharuskan terlebih dahulu bertawassul dengan membaca surat al fatihah kepada: 1) Nabi Muhammad saw. 2) keluarga, sahabat Nabi Muhammad saw, para nabi dan rasul sebelum Nabi Muhammad saw dan para pengikut nabi Muhammad saw (dikenal dengan tabi'in dan tabi'i- al tabi'in); 3) para wali khususnya wali songo; 4) para masyayih yang memberikan amalan ini; dan 5) para pengasuh pesantren Zainul Hasan Genggong yaitu KH Muh. Hasan dan KH. Hasan Saifurridzal.Terlepas dari berbagai fungsi atau faedah bacaan baik dari dzikiran maupun surat-surat al Qur'an di atas, Allah swt. secara tegas di dalam al Qur'an menyatakan bahwa dengan berdzikir (ingat) kepada Allah swt. akan membuat hati si pembaca menjadi tenang sebagaimana firman Allah swt:الا بذكر الله تطمئن القلوب ......Artinya: "Ketahuilah bahwa dengan berdzikir (ingat atau menyebut-nyebut) Allah swt akan menenangkan hati…"demikian juga dengan membaca al Qur'an, Allah swt menjamin mereka kesembuhan baik bagi pembaca sendiri maupun bagi manusia pada umumnya sebagaimana firman Allah swt: وننزل من القراءن ما هو شفاء ورحمة للمؤمنين .......................Artinya: "Dan kami turunkan sebagian dari (ayat/surat) al Qur'an sebagai obat dan rahmat bagi orang-orang yang beriman ……….." (al ayat)Oleh sebab itu, berdzikir (ingat kepada Allah) dan membaca Al Qur'an adalah sangat relevan dan sangat membantu terhadap kesembuhan anak-anak pengungsi yang sedang mengalami goncangan jiwa, kehampaan, keputusasaan, tidak percaya diri, selalu berfikir pesimis, trauma dan gangguan-gangguan jiwa lain akibat perang antar etnis dan akibat pengungsian besar-besaran pasca konflik, sehingga mereka secara perlahan dan bertahap dapat berfikir secara positif, optimis dan menemukan jati dirinya seperti semula.Memang, pendidikan hati bagi anak-anak pengungsi sangat diperlukan sebab hati atau dalam istilah nabi disebut mudghah adalah merupakan kunci dan cermin dari kondisi seseorang, nabi bersabda:الا فان في الجسد مضغة فاذا صلحت صلح الجسد كله واذا فسدت فسد الجسد كله الا وهي القلب (الحديث)Artinya: "Ketahuilah bahwa di dalam jasad seseorang terdapat segumpal daging, jika daging itu baik, maka baiklah seluruh jasadnya dan apabila daging itu jelek atau rusak, maka rusaklah seluruh jasadnya, ketahuilah itulah hati."Ditinjau dari perspektif tasawwuf pada dasarnya pengamalan bacaan-bacaan sebagaimana disebutkan di atas merupakan cikal bakal dari tahapan seseorang memasuki alam thariqat yakni tingkat kedua setelah tingkat syari'at, namun secara formal dalam arti melalui proses bai'at dan tata aturan lainnya belum dilaksanakan sebab mereka masih dalam tahap belajar (ilmu syari'at).Pondok Pesantren Zainul Hasan sendiri sebagai instansi keagamaan (Islam) dan satu-satunya lembaga yang menjaga dan melestarikan tradisi Islam, menganut faham thariqat Al Qadairiyyah wa al Naqsyabandiyah. Thariqat ini, menurut keterangan KH. Sufyan (Mursyid thariqat) telah dianut sejak kepemimpinan pesantren generasi kedua yaitu KH. Muhammad Hasan dan masih dipertahankan sampai sekarang

PROBLEMATIKA PESANTREN (Sebagai Problem Pendidikan Kaum Pinggiran 1)

PengantarAlvin Toffler salah seorang ahli futurulogi dari negeri Paman Sam mengungkapkan bahwa masyarakat kini tengah memasuki bagian dari gelombang ketiga (the third wave), di mana setiap teknologi dapat mempengaruhi apa yang disebut dengan teknosfer, infosfer, sosiosfer dan psikosfer. Pada tataran teknosfer segala bentuk aktifitas manusia (masyarakat) sangat tergantung pada tehnologi elektronik (technotronic). Pada tingkatan infosfer, era informasi tidak lagi terikat pada lingkungan lokal ataupun nasional, tetapi bersifat global. Pada tataran sosiosfer, media elektronik di era informasi merupakan agen-agen sosial yang utama menggantikan peran orang tua, guru, pendeta, kyai dsb. Dan pada tingkatan psikosfer, era reformasi akan meninggalkan manusia yang bersifat magis, irrasional yang berorientasi pada masa lalu termasuk manusia positivistik rasional dan sebagai gantinya muncul manusia bijak yang terbuka dan berorientasi ke masa depan, supra religius dan naturalistik.Pandangan Alvin di atas, bila dicermati secara seksama rupa-rupanya mendekati kebenaran, hal itu dapat dibuktikan dengan melihat sejumlah realitas yang terjadi pada masyarakat. Mungkin sampel yang paling tepat adalah apa yang terjadi pada pesantren (sebagai mainstrem sesi ini). Disadari atau tidak, pesantren sebagai lembaga sosial keagamaan telah mengalami perubahan atau transformasi budaya yang mendasar (dan bahkan terjadi cultural shock pada masyarakat pesantren) sebagai akibat dari perkembangan dan kemajuan ilmu dan teknologi khususnya teknologi informasi dan teknologi komunikasi.Dalam konteks ini, pesantren memang berada pada posisi yang sulit, di satu sisi, ia dihadapkan pada kemajuan iptek yang semakin tidak terkendali, sementara di sisi lain, ia dituntut untuk menyelesaikan problem internal yang tak kunjung terpecahkan seperti problem demokratisasi (pendidikan) pesantren, emansipasi wanita (gender), problem sumber daya manusia (human resources) dan lain sebagainya.Problem-problem tersebut mengindikasikan bahwa pesantren harus terbuka dalam arti tidak menutup diri dari arus gelombang transformasi baik yang datang dari luar (eksternal) maupun yang datang dari dalam diri pesantren sendiri (internal), dengan demikian, pesantren dihadapkan pada posisi tengah yang terjadi tarik menarik antara sesuatu yang absolut, statis dan kolot (konservatif) dengan sesuatu yang selalu mengalami perubahan (transformatif) dan dinamis, antara dinul Islam yang bersumber dari Tuhan dengan budaya yang bersumber dari makhluk.Sementara itu, tantangan yang dihadapinya semakin hari semakin berkembang dan kompleks sebagai konsekwensi dari bertambah majunya ilmu pengetahuan dan teknologi(iptek) dan kebutuhan serta kepekaan masyarakat, demikian halnya pergantian era industri ke era reformasi dan demokrasi menambah pekerjaan baru yang harus segera diantisipasi.Ironisnya, menghadapi persoalan di atas, banyak dari kalangan pesantren (khususnya pesantren salaf) lebih menganggap sebagai suatu persoalan yang berdampak negatif (mengandung maksiat) dari pada dampak positif sehingga sebagai akibat dari sikap semacam ini sebagian pesantren bukan hanya termaginalkan, akan tetapi juga telah kehilangan pamor (kharisma) yang pada gilirannya akan ditinggalkan oleh masyarakatnya sendiri sehingga tidak menutup kemungkinan pesantren tersebut akan gulung tikar alias tutup.